B.17

13K 711 38
                                    

“Beda ya, kalau orang jatuh cinta, lirik lagunya bikin orang mesem-mesem,” sindir Ziko yang tengah mengetuk-ngetuk stik drum-nya.

Mengerti maksud Ziko, Reas pun menimpali, “Setuju banget! Yakin sih gue, kalau album kali ini bakal naik di kalangan anak abege.”

“Emang lo lagi jatuh cinta sama siapa, Yan?” goda Matt sembari menyenggol bahu Bryan—yang kebetulan sedang duduk di sebelahnya.

Bryan tidak bereaksi seperti apa pun. Ia masih disibukkan dengan memetik senar menciptakan beberapa melodi. Tak lama ia menyimpan gitar itu di sampingnya yang kosong dan merebahkan tubuhnya ke kepala sofa.

“Gue cuma ngeluarin apa yang ada di kepala gue, kok. Nggak ada hubungannya sama jatuh cinta,” kilah Bryan.

Ziko berdecih. Bibirnya mendadak keriting menggoda Bryan. Ia tidak percaya kalau laki-laki itu tidak sedang jatuh cinta. Buktinya, hampir setiap hari, Ziko mendapati Bryan senyum-senyum sendiri di depan handphone di pagi hari, atau sebelum tidur. Perilaku yang jarang sekali setelah kejadian beberapa tahun silam.

“Iya, deh, yang nggak lagi jatuh cinta. Sayangnya banget gue nggak percaya,” cibir Ziko.

“Dahlah, Ko! Lagian si Iyan mah mana mau ngaku. Kayak nggak tau aja lo, gengsinya setinggi langit,” sahut Matt angkat suara.

Atensi semua beralih karena tiba-tiba Bryan menegakkan tubuhnya, lalu menatap satu per satu teman-temannya. “Latihan hari ini udah kelar, kan? Gue boleh dong balik Apart?”

“Nah, kan! Aneh! Biasanya si Iyan nggak pernah mau balik Apartemen kalau album belum rampung, lah ini?” Ziko menatap Bryan dengan tatapan menelisik.

Sementara yang tertuduh hanya bisa mendengkus sebal. Tidak salah jika mereka beranggapan yang bukan-bukan, karena ini memang di luar kebiasaannya. Seperti yang dikatakan Ziko, Bryan itu jarang pulang ke apartemen sebelum pekerjaannya rampung. Biasanya, selagi persiapan album baru, Bryan sering memilih mendekam di studio yang ada di basecamp, dan akan pulang ke apartemen kalau sudah tinggal nunggu rilis saja.

“Pasti gara-gara ada Gitta, ya, nunggu di apartemen lo?” tuduh Ziko kesekian kalinya. Ini bukan semata-mata menuduh, ia hanya senang menggoda Bryan dan melihat laki-laki itu misuh-misuh tidak jelas. Belum sempat Bryan menanggapi ucapannya, Ziko kembali bertanya, “Kumpul kebo, ya, kalian?”

Sebuah timpukan keras tidak tanggung-tanggung melayang ke wajah Ziko. Saat bantal itu mendarat manis di wajah Ziko berulang-ulang, bersamaan dengan itu gelak tawa keluar dari mulut Matt dan Reas. Mereka nampaknya sudah tidak aneh dengan pemandangan ini.

Memang, Ziko dan Bryan ini seperti tikus dan kucing. Ada saja bahan yang diperdebatkan. Ziko yang terlalu iseng, dan Bryan yang bersumbu pendek. Ramai sudah suasana di ruangan ini.

“Lo kalau ngomong aneh-aneh lagi, gue sumpel mulut lo pake batu! Lemes banget, anjir! Kayak emak-emak rempong tau, nggak! Tukang gosip!” umpat Bryan dengan napas menggebu. Sahabat di depannya ini memang agak lain. Sangat menguji kesabaran Bryan yang sudah tidak tahan ingin beristirahat di apartemen.

Bryan memilih untuk pulang ke Apartemen karena ia merasakan tidak enak badan. Ia merasa sudah terlalu memporsir tubuhnya untuk menyelesaikan album baru Scout. Studio atau Basecamp ini sudah menjadi rumah kedua baginya. Hanya saja, untuk saat ini tidur di studio terlalu dingin untuknya.  Apalagi Bryan terlalu lama diam di bawah AC. Belum lagi ia juga sering ketiduran di atas sofa, padahal sudah disiapkan kasur untuk anak-anak kalau ada yang mau istirahat di Basecamp. Alhasil, tubuhnya sudah benar-benar terasa remuk.

“Gue cuma pengen tidur tenang aja di apartemen. Nggak usah mikir yang enggak-enggak. Lagian badan gue udah nggak enak diem terus di studio,” keluh Bryan.

Another BWhere stories live. Discover now