Bab 4

752 185 11
                                    

"Maurie!" Mark menghentikan langkah gadis itu yang sudah bersiap mendorong pintu pagar rumahnya.

"Ya?" Maurie menoleh dengan kernyitan di dahi. Ia mendapati Mark berdiri di samping mobilnya. "Ada apa?"

Mark tersenyum simpul. "Makasih udah mau kulineran sama aku."

Terus terang, kalimat itu membuat Maurie tersenyum sekaligus sedikit ada rasa membuncah di dalam diri. Ia mengurungkan niat untuk membuka gerbang demi kembali menghampiri Mark. Laki-laki itu seperti menyadarkan dirinya bahwa sepertinya tidak etis, begitu diantar langsung turun tanpa basa-basi. Padahal biasanya, gadis itu akan cuek. Tapi kali ini rasanya lain. Seperti ia harus menunjukkan bahwa perempuan seperti Maurie juga tahu etika.

"Makasih juga, untuk traktirannya. Kamu udah dua kali traktir aku. Ralat, tiga kali. Pertama, nggak sengaja, kedua di Tebet dan ketiga, barusan di Kemang. Lain kali, kasih gilirannya ke aku, ya. Biar aku juga enak."

Mark tertawa. Dibayari perempuan sama saja menyenggol rasa gengsinya. Namun, ia tidak mengatakan itu. Alih-alih mengatakan, ia lebih memilih mencari alasan lain untuk menghindari pertanyaaan kenapa tidak pernah mau dibayari Maurie.

"Iya, lain kali," jawabnya lembut sebelum akhirnya mengalihkan pembicaraan, "Gimana tadi, ayam kampung bakarnya? Cocok nggak sama lidah kamu?"

"Rekomendasi, asli. Kamu seleranya tinggi juga, ya?" Ia jujur menilai makanan tersebut, "Bikin konten kali, ya? Enak banget ayam bakarnya. Nagih."

"Bikin konten?" Mark berpura-pura untuk tidak tahu siapa Maurie.

Gadis itu mengangguk, "Iya, aku tuh ada chanel youtube gitu. Iseng-iseng jadi food vlogger ala-ala."

"Oh, gitu." Mark mengangguk-angguk, "Ide bagus. Nanti kalau kamu mau bikin konten di sana sekaligus promosiin tempat itu, aku bisa bantu,  kok. Itu usaha Lukman, teman SMA aku. Dia baru buka beberapa bulan. Kali aja, lewat kamu, usaha dia makin berkembang. Niat baik, pasti kembali dengan baik."

Bak gayung bersambut. Memang itulah niat awal Mark mengajak Maurie untuk menjajal makanan di pusat UMKM. Ia ingin membantu usaha teman SMAnya. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin membantu. Namun, ia belum menemukan cara yang tepat. Apalagi, Lukman enggan dibantu secara materi. Mengenal maurie, membuat otaknya bekerja dengan sangat baik.

"Boleh banget. Kapan kita bisa ngobrolin ini sama teman kamu?" tanya Maurie berbinar. Tidak salah, Mark adalah orang baik.

"Nanti aku kabarin lagi, deh. Secepatnya. Kalau gitu, aku pulang dulu, ya?"

"Oke. Hati-hati di jalan. Aku tunggu kabarnya."

"Iya, nanti pasti aku kabarin. Kamu masuk dulu gih, baru aku jalan."

Gadis itu mengerjapkan matanya, pelan. Baginya itu hal manis, spesial yang jarang ia temui dari seorang laki-laki. Beberapa teman yang ia kenal pun tidak demikian. Mereka akan segera tancap gas begitu Maurie turun dan gadis itu hanya perlu melambaikan tangan.

"Serius? Aku masuk dulu, nih?"

"Iya. Udah malam, lebih aman kalau kamu masuk dulu."

Maurie mengangguk mengerti. Bibirnya tersenyum tipis, "Oke. Kabarin aku kalau udah sampai rumah. Bye."

Ia lantas melangkah masuk, namun terhenti dengan keberadaan Melissa di balik pintu dengan tatapan penuh selidik. "Pulang sama siapa? Kok, nggak bilang Mbak? Tadi Mbak Widya kamu suruh pulang duluan."

Gadis itu meringis. Ia lupa kalau harus berhadapan dengan cerewetnya Melissa jika pergi sendirian tanpa kabar terlebih dahulu. Ia hanya bilang pada asisten Melissa, Widya yang menemaninya sejak pagi di studio bahwa ia akan pulang bersama teman. Itu saja. Dan, Widya sendiri mengangguk tanpa bertanya lebih.

If You Don't Mind- Pre order Sampai 16 APRIL 24Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt