Pertama; Sebuah dosa dan karmanya

1K 120 2
                                    

"Kasih sayangnya aku suguhkan, cintanya aku alirkan, sayat-sayat lukanya biar aku yang sembuhkan"

Khaisan Dirgantara—
.
.
.
.
.
••••>🌻<••••

Jika manusia adalah pendosa, maka Nilambari juga sama manusianya. Namun, dosa seperti apa yang ia perbuat? 𝘏𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘪𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘩𝘪𝘳 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘺𝘢𝘩? Bukankah itu alasan konyol untuk disematkan.

Jika manusia sama-sama berada didrajat yang sejajar? Lantas kenapa Nilambari mendapat kata-kata membunuh dari sekelilingnya. Sebenarnya letak salah ia hadir di dunia ada disebelah mana. 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘵𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘯𝘫𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘱𝘢𝘺𝘢 𝘕𝘪𝘭𝘢𝘮𝘣𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘵𝘶𝘱𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘵𝘢𝘢𝘯 𝘶𝘴𝘢𝘩𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘢 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢.

Jika manusia sama rata memiliki hati yang perasa, kenapa hanya Nilambari yang mereka jejali kalimat kotor tanpa iba.

Namun jika Nilambari adalah dosa, maka Khaisan akan menjadi pendosanya.

Raungan jijik juga dihindari, maka Khaisan kebalikannya. Kalimat kotor mematikan, maka Khaisan berikan rayu manis bukan bualan. Jika tidak ada yang sudi, maka Khaisan akan gencar sekali memberi hati. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘕𝘪𝘭𝘢𝘮𝘣𝘢𝘳𝘪—𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘶𝘵𝘶𝘩 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢.

Sesak ditengah lautan manusia ini, Khaisan sanggup berjanji akan memberikan tempat tenang untuknya. Tidak banyak yang ia pinta sebagai imbalan, cukup senyum saja dengan ringan. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯, 𝘕𝘪𝘭𝘢𝘮𝘣𝘢𝘳𝘪—𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘯𝘵𝘢𝘴 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘳𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.

Hancurnya rumah yang ia punya, Khaisan akan berikan rumah lainnya. Bukan hanya bermodalkan sudi dan mau saja, tapi ia isi dengan cinta dan kasih sayang. Didalamnya akan hangat, dekap yang dihadirkan menjadi dekorasinya. Nilambari—nya tidak akan kedinginan.

Setiap ruangnya ia berikan simfoni tentang cinta setengah mati, supaya Nilambari—nya tidak kesepian. Sudut-sudutnya ia taruh wewangian, supaya aura menjengkelkan dari orang-orang tertutup dengan harumnya rasa sayang.

"Aduh, mulutmu itu diberi madu ya?"

Adalah kalimat yang menjelaskan betapa Nilambari jatuh pada sosok didepannya, jatuh yang teramat dalam sampai-sampai ia kesulitan mencari cara supaya bisa keluar—𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘯𝘨𝘢𝘫𝘢 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘵𝘢𝘱.

"Nggak, tapi aku punya banyak rasa manis lainnya. Perlahan saja ya aku tunjukannya, supaya kamu percaya bahwa semuanya bukan dusta belaka"

Adalah pengakuan paling nyata yang Kahisan beri. Karena dirinya juga sama—𝘚𝘢𝘮𝘢-𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘢.

"Kamu mau aku lakukan apa? Supaya manis juga cintanya kamu ini terbalas? Aku nggak punya hal bagus untuk ditukarkan, jadi tolong jangan aneh-aneh ya"

Khaisan tersenyum mendengarnya, "nggak ada, mana mungkin aku menuntut hal memberatkan. Cukup kamu merasa ringan saja pada banyak hal, supaya ringkih tubuhmu ini terbayar dengan setimpal. Oh iya satu lagi deh, tolong banyak tersenyum ya"

Bahkan dalam hal timbal balik pun, khaisan masih sempat berkata 𝘵𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨, jadi mana mungkin Nilambari tidak jatuh dan jatuh lagi pada sosok pria ini. Tidak apa, Nilambari akan timbun semua rasa cintanya supaya tidak akan habis dimakan usia.

Khaisan kalau saja dirinya tidak ingat bahwa ia hanya manusia biasa, mungkin dengan sekonyong-konyong ia akan menaklukannya semesta agar tidak banyak menuntut pada wanitanya.

Anak muda ya memang begitu, sedang gila-gilanya pada cinta, tapi sungguhan nyatanya kalau Khaisan setengah mati menaruh hati pada Nilambari.

Remaja laki-laki itu terlahir dari keluarga yang penuh cinta, ia disayang juga diberi sanjungan. Tidak ada pilih kasih antara ia dan Adik-adiknya, berbanding terbalik dengan apa yang Nilambari terima. Maka dari itu,  Khaisan mau dan sudi membagi cintanya untuk Nilambari, supaya ia tahu rasanya diperlakukan ada.

"Aku taruh hati ya? Tolong dijaga dengan baik, karena selain ini aku nggak punya apa-apa. Di dalamnya ada cinta, mengagumi juga rasa percaya, jadi tolong ya Khaisan Dirgantara, jangan sampai diberi luka" Kata Nilambari dua tahun lalu.

Awal mulanya seperti ini, selanjutnya akan diperlihatkan juga, maka jika berkenan tolong saksikan kisah mereka sampai akhir ya.

Namanya, Khaisan Dirgantara.


K

alau si cantik ini, Nilambari Gayatri.





—3 Desember 2022.

Rumah | Lee HaechanWhere stories live. Discover now