Ketiga; Hidup bersama bayangan karma

363 64 10
                                    

Karena manusia tetaplah manusia, dosa dan karma sudah menjadi hal biasa bagi mereka.
.
.
.
.
.
••••>•<••••

Hari kesekian setelah kejadian itu, nyatanya pesan terakhir yang Khaisan kirim tidak mampu ia realisasikan. Dirinya malah sibuk bergulat dengan pikiran, Nilambari? Gadis itu diberikan alasan bahwa Khaisan sibuk pada organisasi kampusnya.

Ada rasa nyeri juga nelangsa, tapi Nilambari memilih diam dan membungkusnya. Jiwa yang pada dasarnya sudah terluka malah makin menganga sekarang, sakit hatinya sudah menumpuk bak bukit-bukit tinggi diluar sana.

𝘒𝘩𝘢𝘪𝘴𝘢𝘯-𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢?

Pekerjaan menjadi berantakan, pikirannya buyar juga ketakutan. Kesalahan fatal ibunya kenapa harus diturunkan? Nilambari ketakutan, akan ada kehidupan lain yang ia emban. Nilambari ketakutan, dengan segala pikiran buruk yang hadir begitu saja. 𝘐𝘺𝘢, 𝘕𝘪𝘭𝘢𝘮𝘣𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨.

Malam ini hujan turun, menghambat Nilambari yang kebetulan baru pulang karena lemburan. Lampu-lampu jalanan sudah dinyalakan, makin malam dan dingin. Nilambari yang kepalang setengah basah memilih untuk menerobos saja. Jarak tempat kerja dan kost tidak begitu jauh, tapi tetap saja tubuhnya basah kuyup. Setelah sampai, Nilambari segera bergegas mandi supaya tidak masuk angin.

Tapi, kejadian ini memutar pada waktu lalu. Persis kehujanan dan ya kalian tahu sendiri. Tubuhnya yang menggigil malah semakin bergetar karena rasa khawatir. Khaisan belum juga ada kabar, ia tidak cukup berani untuk pergi menghampiri. Tangisnya kembali datang, duduk terdiam dikamar mandi sampai dirasa kebas baru ia beranjak.

Petir menggelegar, hujannya juga semakin besar. Rasa dingin yang ditimbulkan bersatu dengan kesepiannya seorang Nilambari. Tubuhnya alih-alih dibalut selimut tebal, malah dililit pesakitan. Lara melolong begitu saja, memberi tahu semesta bahwa ia adalah teman setia Nilambari.

••••>•<••••

Ditempat lain, Khaisan termenung dengan pikiran penuh. Segala macam gambaran buruk terpampang sekarang. Tidak bisa ia elak, kalau saja itu terjadi maka dirinya amat harus tanggung jawab.

Kopinya laun-laun dingin di tiup angin malam, sebatang rokok yang ia hisap perlahan habis, menyisakan sekar nya yang berantakan. Tapi kombinasi sempurna itu pun masih belum bisa menenangkan pikiran. Ribut dikepalanya disempurnakan oleh rintik hujan yang semakin menantang. Saling menyahuti seolah-olah Khaisan baik-baik saja.

Berisik dan semakin berisik saja. Tubuhnya terlonjak sedikit saat Ibu menghampiri, mengusap surainya sembari bertanya.

"Kamu lagi apa sih bang? Emangnya nggak dingin, masuk yuk, makan"

"𝘉𝘶, 𝘮𝘢𝘢𝘧. 𝘈𝘯𝘢𝘬𝘮𝘶 𝘪𝘯𝘪, 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘴𝘶𝘭𝘶𝘯𝘨𝘮𝘶 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘢𝘮𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳. 𝘈𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘱𝘢𝘯𝘵𝘢𝘴 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘢𝘫𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯?" Nyatanya permintaan maaf juga pengakuan itu ia telan sendiri. Tidak berani diucapkan apalagi sampai didengar oleh ibu.

Suasananya tidak ada yang berubah, masih hangat seperti biasa tapi rasanya sangat hampa, Dosa yang ia lalukan terus saja terbayang. kata maaf terus ia telan berulang kali, sampi jengah, sampai nanti ia berani.

.

.

.

Genap satu minggu Khaisan tidak mengabari Nilambari, membiarkan gadis itu dalam kekhawatiran juga ketakutan yang terus datang, membiarkan Nilambari ditelan keputusasaan, dibiarkan juga tidak dipeduliakn kalau-kalau Nilambari diselimuti kesepian.

Rumah | Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang