10 ; Jagain Khao.

1.2K 131 2
                                    

°°°
“Gimana, Dok, temen saya?” tanya Win, napasnya tercekat. Setelah menanti di koridor yang terasa dingin, ia akhirnya bisa melihat dokter keluar dari ruangan Khao. Matanya lekat menatap wajah sang dokter, mencari petunjuk tentang kondisi sahabatnya.

“Bukan luka yang cukup parah, tapi untuk menghindari hal–hal yang tidak diinginkan, lebih baik temannya didiamkan di sini sekitar satu atau dua hari,” kata dokter, suaranya tenang namun profesional. Ia tahu betul, keluarga pasien selalu cemas dan membutuhkan kepastian.

Win terkekeh mendengar penjelasan itu. “Didiamkan, Dokter kira temen saya puding kali, diamkan sekitar satu dua hari,” ujarnya, nada bicaranya sedikit sinis namun juga mencerminkan kelegaan.

Dokter itu ikut tertawa kecil. “Maksud saya, dirawat di sini saja dulu,” katanya sambil tersenyum.

Setelah memastikan bahwa ia diizinkan menjenguk, Win segera melangkah masuk. Di ruangan itu, Khao tampak meringis kesakitan. Tangannya memegangi perut yang sudah terbalut perban, wajahnya pucat pasi.

“Kata dokter gak papa, lukanya biasa aja, gak usah lebay,” kata Win, menutup pintu ruangan dengan sedikit keras. Ia berusaha mencairkan suasana dengan mengejek Khao, merasa lucu melihat teman atau musuh bebuyutannya terkapar tak berdaya di brankar rumah sakit seperti ini.

Khao menoleh, tatapannya kesal. “Bangsat lo! Sakit,” umpatnya, namun suaranya lemah.

Win terkekeh pelan, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di tepian brankar, menatap Khao dengan campuran rasa iba dan geli. “Hidup lo kurang kerjaan banget, berantem mulu,” katanya sambil menggeleng–gelengkan kepala.

“Bawa gue pulang, Win, oh iya, adek gue mana?” pinta Khao, suaranya memelas. Ada nada berbeda saat ia berbicara dengan Win—tidak ada emosi yang meledak–ledak seperti saat berinteraksi dengan First.

“Si Prom? Gue suruh pulang tadi, kasian besok juga sekolah,” jawab Win. Ia sudah berusaha meyakinkan Prom bahwa semuanya akan baik–baik saja, bahwa ada dokter dan dirinya yang akan menjaga Khao. Win juga memastikan pada Khao bahwa adiknya baik–baik saja di rumah.

“Oh iya, kata dokter lo di sini aja sampe besok atau lusa. Mana nomor orang tua lo? Biar gue hubungin mereka buat jagain Lo,” Win mengulurkan ponselnya, niatnya tulus ingin memberi tahu keluarga Khao tentang kondisinya.

Namun, Khao mendecih, wajahnya langsung berubah masam. Ia paling tidak suka membahas keluarganya. Ia yakin, mereka tidak akan peduli jika ia terluka seperti ini. “Gua gak punya orang tua,” katanya datar.

Win tersentak, menyadari kesalahannya. Ia teringat cerita First tentang keluarga Khao yang berantakan. Ia merasa bersalah karena sudah menyinggung luka lama temannya itu. “Ni udah malem banget, gue chat semua temen–temen lo, termasuk temen–temen gue. Kali aja ada yang mau jagain lo. Gue harus pulang, kasian supir gue di bawah nungguin dari tadi,” Win berusaha mengalihkan pembicaraan, merasa tidak enak hati.

Khao mengangguk lemah, tak ingin merepotkan Win lebih jauh. “Lo pulang aja, gue sendiri di sini baik–baik aja,” katanya, meski dalam hati ia merasa sedikit khawatir.

Namun, Win menggeleng. Ia tidak bisa meninggalkan Khao sendirian. Bagaimana jika dia membutuhkan sesuatu? “Kita ini musuhan, tapi kalo ngeliat lo kayak gini, gue kasian,” katanya jujur.

Khao tersenyum sinis mendengar kata ‘musuh’ keluar dari mulut Win. “Besok lo sekolah,” balasnya.

“Gapapa gue ngebolos sekali,” jawab Win, lalu bangkit dan beralih duduk di kursi dekat ranjang.

Khao mengerutkan keningnya heran. “Tumben,” ucapnya dengan nada bertanya.

Win tidak menjawab. Ia beranjak keluar untuk menemui sopirnya, lalu mengirim pesan pada orang tuanya, memberi tahu bahwa ia akan menemani temannya di rumah sakit malam ini. Setelah memastikan semuanya beres, ia kembali ke kamar Khao, siap menemani temannya melewati malam yang panjang.

INTERACTION | KHAOFIRSTWhere stories live. Discover now