29 ; Khawatir

953 86 2
                                    

Hay Hay

•••
Semenjak kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu, First merasa tidak menyesali langkah besar yang telah ia ambil dengan menjadikan Khao sebagai kekasihnya. Mungkin saja First belum sepenuhnya mengenal sosok Khao secara utuh; selama ini ia hanya mampu melihat sisi lain dari diri Khao, bukanlah Khao yang sebenarnya, yang tersembunyi di balik topeng dan sikapnya.

Dulu, First sangat menyukai Khao dengan sepenuh hati. Namun kini, setelah sikap Khao berubah sedikit demi sedikit tanpa bisa ia jelaskan, entah ke mana perasaan itu menghilang, seolah lenyap ditelan waktu dan jarak yang semakin membentang di antara mereka.

"Lo yakin mau tinggal di rumah gue sementara? Gimana kalau ibu lo nyariin, terus Prom?" tanya First dengan nada penuh kekhawatiran, karena Prom sangat membutuhkan kehadirannya saat ini.

Saat itu, mereka berdua duduk di sebuah kafe kecil yang tak jauh dari rumah First. Suasana kafe yang sederhana itu seolah menjadi saksi bisu dari percakapan mereka yang penuh tanda tanya dan kegelisahan.

Khao menyeruput jus alpukatnya dengan santai, lalu mengangguk pelan, "Kalo perlu bayar sewa gue bayar."

First menggeleng pelan, merasa ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. "Bukan gitu," jawabnya singkat, lalu terdiam, takut kata-katanya akan menyakiti perasaan Khao.

Khao menghembuskan napas pendek, seolah melepaskan beban yang selama ini ia pendam. "Gak ada yang peduli juga, semua orang sayang sama Prom. Beda sama gue, siapa yang sayang sama gue?" ucapnya dengan suara yang penuh kepedihan dan kesepian.

First menatap Khao dengan mata yang mulai berkaca-kaca, lalu sedikit kesal, ia membalas, "Gue gak dianggap nih? Terus gue ini apa? Benci sama lo?" tanyanya dengan nada yang agak tinggi, karena ia benci harus mengungkapkan hal-hal yang berbau keromantisan, sesuatu yang selama ini selalu membuatnya merasa canggung.

Khao terkekeh pelan, seolah ingin melepas ketegangan, "Bilang dulu lo sayang sama gue, baru gue percaya," ujarnya dengan nada menggoda, namun ada harapan yang tersembunyi di balik kata-katanya.

"Meskipun semua orang benci sama gue, setidaknya ada satu orang yang sayang sama gue," lanjut Khao sambil memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya, mencoba menutupi rasa sakitnya dengan sikap santai.

First menyipitkan matanya, berusaha mengalihkan pembicaraan yang mulai berat, "Masih marahan sama ayah lo?" tanyanya dengan nada yang lebih lembut, sebenarnya ia hanya ingin menghindari topik yang membuat suasana menjadi semakin rumit.

Kening Khao berkerut, menunjukkan rasa bingung dan sedikit kesal, "Ayah kan di rumah sakit, mau marahan gimana?" jawabnya dengan nada yang datar, seolah pertanyaan itu tidak relevan dengan keadaan sebenarnya.

First sadar bahwa pertanyaannya salah dan membuat suasana menjadi canggung.

"Abisin makanannya, abis itu pulang," titah First dengan suara yang tegas namun penuh perhatian, karena ia sendiri bingung harus melanjutkan pembicaraan ke mana lagi.

"Gue anterin lu pulang dulu, terus gue mau pergi bareng temen-temen gue," kata Khao sambil berdiri, menunjukkan sikap yang sudah siap untuk meninggalkan kafe.

"Kemana?" tanya First, masih penasaran dengan rencana Khao.

"Biasa anak muda," jawab Khao singkat, dengan senyum tipis yang sulit ditebak maknanya.

First hanya bisa mengangguk pelan, tidak mengerti maksud Khao, namun memilih untuk membiarkannya. Ya sudahlah, selama dia tidak berbuat macam-macam, First merasa cukup lega meski hatinya masih penuh tanda tanya.

•••
"Bro, kenapa lu akhir-akhir ini jarang gabung sama kita?" tanya Bright dengan nada sedikit khawatir, sambil menepuk bahu Khao dengan lembut. Suasana bar yang bising dan lampu remang-remang tidak menghalangi perhatian Bright yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu.

INTERACTION | KHAOFIRSTDonde viven las historias. Descúbrelo ahora