Hay Hay
•••
"Khao, lo tinggal di rumah gue dulu sebelum ayah lo sadar," ajak First, matanya menatap penuh perhatian seolah ingin memastikan Khao tidak merasa sendirian dalam situasi sulit ini.Khao mengangguk pelan, raut wajahnya masih menunjukkan kekesalan yang sulit disembunyikan. "Emang iya, terus gue harus ke mana? Nyewa apart? Bayarin, tapi," jawab Khao dengan nada menyebalkan, mencoba menutupi kegelisahan yang sebenarnya menggerogoti hatinya.
Tanpa ragu-ragu, First melayangkan satu pukulan ringan pada lengan kanan Khao, bukan untuk menyakiti. "Sebentar lagi ujian, lo jangan banyak pikiran," ucapnya dengan suara yang hangat, penuh perhatian, seolah ingin mengusir beban yang menghimpit Khao.
Khao meringis kesakitan, mengelus pelan lengan yang baru saja terkena pukulan itu. "Mukulinya gak pake perasaan banget," keluhnya sambil menyunggingkan senyum kecil.
"Gue trauma kasih perasaan gue ke lo, soalnya gak lo terima, jadi buat apa gue pake perasaan?" kata First dengan nada sedikit mengejek.
"Tapi tetep aja sayang kan sama gue?" Khao mencoba menggoda.
Dengan cepat First menggeleng, wajahnya memerah sedikit karena malu. "Udah ah, geli gue dengernya kalau lo ngomong sayang-sayang kayak gitu," jawabnya sambil tersenyum kecil, berusaha menutupi rasa canggung yang tiba-tiba muncul.
Jujur saja, Khao juga sebenarnya geli menggoda First terus-menerus, tapi semua itu dilakukannya untuk menebus semua kesalahan yang pernah dia buat, berharap persahabatan mereka tetap kuat.
"Ngapain senyum-senyum sendiri?" tanya First penasaran, menatap Khao yang menatapnya dengan mata berbinar dan senyum yang tak bisa disembunyikan.
"Gak tahu, pengen aja. Gak boleh?" jawab Khao santai.
First menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. "Gak! Kalau lo senyum serem, soalnya kan gue udah biasa lihat muka lo yang sok sangar itu," katanya dengan nada bercanda, meskipun dalam hatinya ia tahu senyum Khao memang punya daya tarik tersendiri.
Khao malah tertawa mendengarnya, suaranya menggelegar penuh keceriaan. "Biasa lihat muka gue yang sok, apa biasa lihat muka gue yang ganteng?" godanya dengan percaya diri yang tinggi, mencoba memancing reaksi First.
First menatap tajam wajah Khao, mencoba menahan senyum. Harus diakui, Khao memang tampan, dengan pesona yang sulit diabaikan, tapi sikap percaya dirinya yang berlebihan kadang membuatnya terlihat menyebalkan. Namun, di balik semua itu, First merasa ada sesuatu yang membuatnya tetap peduli.
"Udah ah, Khao," rengek First sambil mengusap wajahnya dengan tangan, merasa sudah cukup Khao menggodanya hari ini. "Udah cukup, jangan ganggu gue terus."
"Lebih baik sekarang anterin dulu Prom ke rumah, atau gue pesenin Grab? Biar kita bisa cepet-cepat pulang," lanjut First dengan nada yang lebih serius, menunjukkan kepeduliannya terhadap keadaan sekitar.
"Mau berdua-duaan ya sama gue? Kangen ya?" goda Khao dengan nakal.
Sial, First salah bicara. Dia hanya mampu menghela napas panjang, merasa sangat lelah mendengar ocehan Khao yang tak kunjung berhenti. "Udah malem! Ibu di rumah sendirian, gue gak mau ibu kenapa-napa!" ucapnya dengan suara tegas.
"Pesenin Prom Grab aja, males gue kalau balik ke rumah," kata Khao sambil menyerah, menyadari bahwa kekhawatiran First memang beralasan.
First mengangguk pelan, matanya menatap Khao dengan penuh pengertian. Dia benar-benar melupakan kejadian yang menimpa Khao semalam.
•••
Pintu utama rumah kediaman First terbuka dengan lebar, seolah menyambut keheningan malam yang sudah larut. Suasana di dalam rumah tampak sunyi dan sepi, menandakan bahwa orang-orang yang tinggal di sana mungkin sudah terlelap dalam tidur. Namun, ada sesuatu yang terasa tidak biasa—pintu utama rumah itu sama sekali tidak terkunci, meninggalkan kesan aneh yang membuat suasana malam semakin mencekam.

YOU ARE READING
INTERACTION | KHAOFIRST
Fanfiction"Jadi gimana perasaan lo?" "..." TAHAP REVISI MENTEMEN WARNING: •BXB• •Mengandung unsur kekerasan, umpatan, dll•