Mad About You (Jay)

1.6K 83 7
                                    

Wajah frustasi dibalik ketenangan semata melanda hanyalah kedok supaya tak terlalu tampak bagaikan seseorang yang tengah ditimpa kesusahan. Meskipun demikian, kenyataannya seperti itu. Kamu sedang stres memikirkan program beasiswa yang hendak dicabut akibat penurunan drastis pada hasil prestasi akumulasi perkuliahanmu itu.

Mengacak rambut yang awalnya tertata rapi membuat atensi mahasiswa lain melirikmu, tetapi kamu tidak peduli lagi. Otakmu dipenuhi kabut asap yang bisa kapan saja meledak karena terlalu pusing mencari solusi untuk keluar di tengah jalan buntu yang menyesatkanmu.

Tinggal beberapa pijak, kamu bisa meraih semester akhir. Namun, keadaan mempersulit dikarenakan kamu yang kalap membagi waktu antara kuliah dan bekerja. Lantas, hanya dua pilihan yang dapat kamu tempuh, yakni memfokuskan diri dengan belajar sampai mendapat gelar sarjana atau beralih bekerja sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan hidupmu.

Melihat di sekeliling, teman-teman kuliahmu yang bercanda gurau membuatmu iri bukan main. Mereka terlahir dari keluarga terpandang, bahkan tergolong sangat kaya raya. Semua orang akan menebaknya begitu memandang pakaian yang melekat di tubuh mereka. Berbeda denganmu yang amat sederhana menyerempet tidak mampu. Kata kasarnya ialah miskin.

Memang benar. Garis keturunan keluargamu adalah orang-orang miskin yang untuk sekadar membiayai sekolah pun mesti kerja banting tulang. Selain karena kamu suka belajar dan ingin menempuh pendidikan lebih tinggi. Hanya kamulah satu-satunya keluarga yang bertahan hingga sejauh ini. Dalam artian, kamu bisa mengubah pandangan orang-orang terhadap keluargamu yang dicap sebagai sekumpulan manusia bodoh dan pemalas.

Akan tetapi, di saat semua yang telah kamu perjuangan selama ini mendadak runyam diakibatkan kelalaian dalam mempertahankan nilai, kamu tak dapat berbuat banyak. Seandainya, kamu bukan tulang punggung keluarga, pasti takkan seperti ini.

Ayahmu benar-benar tidak berguna sebagaimana semestinya ia yang mencari nafkah, justru rutinitasnya menghabiskan uangmu. Ia begitu menggilai judi. Ayahmu sanggup memukuli dirimu jika saja tak mendapatkan uang darimu sepeserpun. Titik mula kemalangan itu terjadi berkat ibumu yang berselingkuh di belakang ayah.

Jujur, kamu merasa sedih kalau mengingat dulu sang ayah bekerja keras demi sesuap nasi. Namun, ibumu dengan ketusnya berkata sudah tak kuat menjadi orang miskin dan pergi meninggalkan kalian berdua bersama pria kaya.

Tanpa sadar buliran bening yang menumpuk di pelupuk matamu mengalir membasahi pipi. Ingin rasanya bercerita mengenai beban hidupmu pada seseorang yang biasa dilakukan kebanyakan orang tatkala terpuruk, tetapi kamu tak mempunyai teman seorangpun. Mereka bilang, lebih baik tidak berteman dengan siapapun daripada harus denganmu. Mereka tak sudi berteman denganmu karena kamu miskin.

Pernah kamu memiliki seorang teman yang nyatanya bermuka dua. Di depanmu ia sangat baik dan perhatian, tetapi di belakangmu ia menyebar gosip kalau kamu memanfaatkan kebaikannya sampai orang menyebutmu penjilat. Sejak itu, kamu menerima keadaan bahwa memang tidak seharusnya kamu berbaur dengan mereka yang kaya raya.

"Apa terjadi sesuatu?" Lamunanmu dipecah oleh seseorang yang sama sekali tak kamu sangka akan menghampirimu. Ia menempelkan bokongnya di kursi panjang sebelahmu seraya membidikkan netra padamu yang kini menoleh ke arahnya.

"Hah?" bingungmu melayangkan tatapan tanda tanya yang mestinya ia lakukan. Namun, langsung kamu sambung, "oh, tidak-tidak. Tidak ada."

"Sepertinya, Kau terlihat lesu sekali." Ia mengamatimu menggunakan raut wajah khawatir seolah takut sesuatu hal buruk menimpamu.

Rasanya aneh ketika ada yang bersikap baik seperti itu padamu, terlebih ia orang asing yang bahkan ini pertama kalinya kalian berbicara satu sama lain. Lagi, kamu menggelengkan kepala seraya mengatakan, "Tidak apa-apa kok. Ah, kau ... Jay Park, ya?" tanyamu karena wajah rupawan itu tampak familiar.

Oxytocin; ENHYPENWhere stories live. Discover now