Bian21

4.3K 331 72
                                    

Bian pernah bertanya pada sang Ayah perihal mengapa Bara begitu tak suka hingga kini sangat membencinya. Tentang sikap dan kelakuan adik nya kepada kakaknya juga tentang segala ucapan yang sering Bara katakan kepadanya.

"Yah.."

Panggil Bian ketika anak itu duduk menyandar pada dada bidang sang kepala keluarga. Ditemani sebuah buku, Bian menatap lamat kalimat yang tertulis dalam lembar halaman ke 100 yang ada di genggamannya.

'Menghilang adalah cara terbaik agar menjadi yang tersayang.'

"Kenapa Bara selalu bilang aku pembunuh sih?"  Pertanyaan yang meluncur mulus dari bibir kering Bian membuat uasapan lembut pada puncak kepalanya terhenti. Bian menunggu, Ia diam dengan telinga yang siap mendengar suara berat sang Ayah.

"Ayah..??"

Namun detik berlalu suara yang menjadi candu tak kunjung ia dengar, malahan   kini yang di lakukan sang ayah adalah mengecupi puncak kepalanya penuh sayang.    "Adek keseringan nonton bareng bude makanya jadi ikut ikut."

Bian diam sejenak.

"Tapi Bara nggak salah kan yah.." Cicit Bian dengan suara lirih. Ia ingat, ketika kemarin Bara memakinya dengan kasar. Menyumpahi dan berteriak keras di depan wajahnya lalu setelahnya melenggang pergi dengan tangan terkepal. Saat itu Bian sadar, selama ini yang di ucapkan Bara adalah benar, benar bahwa memang ia lah penyebab sang Bunda meninggal. Tapi Ayah selalu berkata jika itu adalah takdir Tuhan. Tuhan yang maha memiliki segalanya, Tuhan juga yang berhak mengambil apa yang Ia punya.

Tapi, Bara tidak mungkin sedang bercanda. Sorot matanya sangat menjelaskan sebesar apa Adiknya itu membencinya.

"Coba aja ada Bunda..,"

Jeda.

Lalu dengan pelan Bian mendongak agar dapat menatap manik gelap sang Ayah yang tengah menatapnya teduh
"Ayah..., Bian kangen."

"Abi kangen Bunda, Yah.."

Bagaimana pun Bian mencoba dewasa di depan adik kecilnya, di mata sang Ayah Bian hanyalah seorang anak lugu yang sedang di permainkan oleh semesta.

"Mau Bunda... Mau sama Bunda,Yah.."

Bian mengerjap pelan. Mata sipit nya yang terlihat sayu itu tengah menatap putih langit langit ruangan dingin yang bising oleh mesin pendeteksi detak jantung.

Lalu kembali menutup mata saat dirasa kepalanya seperti di jatuhi ribuan batu. Nafasnya masih sesak meskipun benda menganggu sudah membingkai hidung hingga mulutnya. Pun dengan tangannya yang terasa keram dan sedikit perih.

Hembusan nafasnya meninggalkan uap pada alat yang membantunya bernafas, Bian pikir, ketika bangun yang akan ia temui adalah hamparan luas dengan banyak bungga juga sang Bunda yang terasenyum manis kearahnya.

Ngomong-ngomong soal Bunda. Bian ingin menangis saja rasanya.

"Bun...da."

Bibir nya bergerak tanpa adanya suara yang terdengar. Tapi air mata di ujung matanya jatuh dengan tiba tiba. Rautnya tak menunjukan kesakitan hanya kesedihan yang terlihat jelas. Masih membekas diingatan ketika ia mengejar langkah sang Bunda yang berjalan membelakanginya.

Pikirannya berkelana. Banyak pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. Salah satunya adalah pertanyaan Apakah sang bunda juga marah? Bunda kecewa  kepadanya.

"Ma..af.." Entah pada siapa Bian meminta maaf.. Bibirnya yang pucat tak henti bergerak dengan suara kecilnya yang terbata.

Bian memejamkan matanya rapat. Wajah cantik Bunda tiba tiba saja melintas di kepalanya sekian detik wajah itu berubah kecewa. Tak ada senyum yang menyambut nya, hanya tatapan penuh luka yang Bunda berikan.  Jiwanya seolah pergi dari raga yang kini terbaring lemah.

SABIANWhere stories live. Discover now