C4

252 33 1
                                    

"Ini semua buat gue?" Tanya Clara saat Bayu memberikan dua kantong kresek besar berisi kebutuhan pokok.

Ada berbagai makanan, persabunan, dan bahkan pembalut siang dan malam. Astaga, bagaimana bisa pemuda itu membelilan semua ini untuknya.

"Lo pasti nolak kalau gue kasih uang, jadi gue ubah dalam bentuk barang. Sekalian gue disuruh belanja bulanan sama Bunda tadi."

"Masuk dulu?" Tawar Clara karena saat ini mereka ada di depan pintu kos.

"Engga, nggak boleh berduaan di ruang tertutup." Jawab Bayu membuat Clara semakin yakin, Bayu memang anak baik-baik.

"Kemarin kita berduaan?" Tanya Clara mengingat kemarin malam mereka bahkan berkeliling kota berdua.

Bayu terdiam. Sepertinya pamuda itu juga baru menyadarinya.

"Itu, beda cerita." Jawab Bayu akhirnya.

Clara tersenyum kecil melihat ekspresi Bayu, perpaduan antara bingung dan menyesal.

"Hum, terima kasih. Gue nggak tau lagi harus membalas gimana semua kebaikan lo."

"Cukup tepati janji kemarin. Oiya, gue juga mampir beli makanan, tunggu bentar."

Clara memperhatikan Bayu yang setengah berlari menuju mobilnya. Pemuda itu kembali dengan membawa paperbag yang ia tebak berisi makanan.

"Lo udah sarapan?" Tanya Bayu saat sudah kembali di hadapan Clara.

Clara menjawab dengan gelengan, bagaimana bisa ia sarapan, ia tak memiliki uang sepeserpun.

"Biasanya habis subuh ada bapak jualan bubur ayam yang lewat sini. Itu langganan gue, enak. Lo beli aja kalau mau, bilang ke bapaknya masuk ke tagihan gue."

"Gue nggak yakin udah bangun saat bapak itu lewat sini." Jawab Clara menerima paperbag yang benar berisi makanan. Ia ingin gengsi tapi saat ini ia memang lapar. Apalagi sudah jam 2 siang, dan ia belum makan sama sekali.

"Makanya bangun pagi."

"Huum, thanks. Tapi Mumtaz, lo itu, sumpah ya, lo itu terlalu baik." Ucap Clara tak tahu lagi harus mendeskripsikan Bayu seperti apa.

"Gue anggap itu pujian."

"Maksud gue, lo juga perlu hati-hati. Bisa aja gue sebenarnya orang jahat. Gimana kau gue justru manfaatin lo? Sumpah, lo nggak boleh sebaik ini sama orang asing."

"Mungkin itu sebabnya gue sering ditipu orang. Kalau kata kakak gue, gue itu baik tapi bodoh." Ucap Bayu tanpa beban.

"Nah gue tadi mau bilang gitu tapi nggak enak." Kata Clara membuat Bayu mendengkus. Tapi Bayu ikut tersenyum saat melihat senyum kecil Clara.

"Gue tau lo bukan orang jahat."

"Atas dasar apa? Bahkan gue bisa aja memanipulasi lo. Mungkin lo ada di lingkungan orang-orang baik jadi lo menganggap semua orang itu baik. Tapi dari pengalaman hidup gue, orang yang beneran baik itu dikit Mumtaz. Lo nggak boleh sembarangan percaya ke orang." Ucap Clara yang entah kenapa takut jika Bayu benar-benar dimanipulasi orang jahat suatu saat nanti.

"Iya, tapi gue tetap yakin lo orang baik."

"Gue nggak sebaik yang lo kira. Gue bukan merendahkan diri sendiri. Tapi gue cuma memperingatkan lo, jangan berharap gue bisa jadi orang baik, karena gue udah rusak."

"Terserah gue dong mau memberikan penilaian apa ke orang lain. Pokoknya di mata gue, lo itu orang baik." Kukuh Bayu membuat Clara menyadari jika pemuda itu selain baik dan bodoh, juga keras kepala.

"Terserahlah, yang penting jangan berharap banyak dari gue. Lo udah makan?"

"Belum." Jawab Bayu sambil menggeleng.

"Ayo makan, kita bisa makan di situ, jadi nggak berduaan di tempat tertutup." Tunjuk Clara pada salah satu bangku yang terletak di tengah bangunan kos ini.

Indekos ini tiga lantai dengan bentuk huruf U. Kamar Clara ada di lantai dasar dekat tangga. Di tengah sepertinya menjadi area yang wifinya paling lancar karena terdapat beberapa orang yang sedang berkutat dengan laptop mereka. Di sana juga disediakan beberapa bangku dengan meja dari kayu. Sepertinya memang sengaja disediakan untuk mereka yang akan mengerjakan tugas kuliah, mengingat kosan ini terletak di dekat kampus jadi kebanyakan penghuninya mahasiswa.

"Ok, gue juga lapar." Jawab Bayu setuju.

"Lo kenapa sampai terpikirkan belanja buat gue juga?" Tanya Clara membuka percakapan setelah mereka duduk.

Pada dasarnya Clara bukan orang yang pendiam, ia banyak bicara, jika ingin. Garis bawahi, jika ingin.

"Kalau kakak gue lagi sedih, biasanya dia nggak mau keluar sekalipun untuk beli kebutuhannya sendiri. Jadi gue terbiasa belanja buat dia. Lagipula Bunda juga selalu minta gue temenin dia belanja atau nyuruh gue kayak hari ini. Jadi gue cukup biasa diandalkan dalam hal belanja. Tapi gue nggak tau selera lo, jadi gue samakan dengan yang biasa dibeli kakak gue."

Ok, Clara sudah mendapat kesimpulan. Bayu memang anak baik-baik dan sepertinya sangat menyayangi keluarganya.

"Lo keliatan sayang banget sama kakak dan Bunda lo."

Bayu mengangguk. "Banyak yang bilang gue anak mama karena selalu nurut sama Bunda. Tapi gue nggak keberatan dengan julukan itu. Bunda gue itu orang paling hebat yang pernah gue kenal."

Ya, Bayu memang terlihat seperti anak mama. Jika dulu Clara mengejek temannya yang 'anak mama', kali ini ia merasa tak ada salahnya menjadi anak mama jika didikannya berbuah menjadi seperti Bayu.

"Dulu gue sering ngejek temen yang 'anak mama', tapi setelah ketemu sama lo, gue pikir, jadi anak mama nggak buruk juga. Lo tuh tipe-tipe softboy yang family oriented banget. Gue nggak bilang itu buruk lho." Kalimat jujur Clara membuat Bayu terkekeh.

Sepertinya penilaian Clara memang benar.

"Kalau saudari lo? Lo menolong gue karena ingat dia kan? Pasti lo sayang banget sama dia."

"Sebenernya gue punya kakak sama adek, cewek semua. Mungkin itu yang mendukung gue jadi softboy, kalau kata lo."

Ah, mungkin saja itu alasan Bayu sangat peka dengan perasaan perempuan. Hidupnya memang di kelilingi perempuan. Itu pula yang menjawab bagaimana cara Bayu bisa membelikan pembalut untuknya. Pemuda itu jelas sudah terbiasa.

"Gue lahir beberapa menit setelah kakak kembar gue. Walaupun ia lebih tua, tetap aja sebagai satu-satunya anak cowok di keluarga, gue yang diandalkan untuk menjaga saudari-saudari gue. Dan gue emang sesayang itu sama mereka, terutama kakak kembar gue." Jawab Bayu setelah menelan makanannya.

"Mungkin karena udah bareng sejak dalam kandungan jadi gue selemah itu kalau dihadapan dia." Lanjut Bayu setelah minum.

"Rasa sayang bukan kelemahan." Karena jika Clara mendapatkan sedikit saja rasa sayang, mungkin ia tidak berakhir menyedihkan seperti saat ini.

Bayu terkekeh. "Iya, tapi seperti yang lo bilang, gue terlalu baik menjurus ke bodoh, dan kakak maupun adik gue kadang memanfaatkan itu."

"Lo nggak keberatan." Kata Clara melihat raut wajah Bayu.

"Tentu, kami selalu berantem saat bertemu. Tapi kami tau, kami saling menyayangi dan bisa mengandalkan satu sama lain."

Andai Clara memiliki saudara yang seperti itu.

"Lo beneran orang baik yang tumbuh dari keluarga baik-baik, Mumtaz." Kagum Clara tulus. Andai ia ada di keluarga yang seperti itu juga.

"Alhamdulillah-nya iya."

Mereka terdiam, melanjutkan makan.

"Kalau lo gimana? Ceritakan juga soal keluarga lo."

Clara tidak tau harus menceritakan apa, tidak ada yang menarik dari keluarganya. Yang ada hanya rasa sakit, keluarganya adalah sumber rasa sakitnya.

CWhere stories live. Discover now