C 16

242 38 1
                                    

"Apa lukanya banyak?" Tanya Bayu saat mereka dalam perjalanan pulang.

"Eng, ada beberapa yang masih terlihat baru. Tapi kebanyakan tinggal bekas." Jawab Bila membuat Bayu menghela napas. Bila mengamati ekspresi wajah abangnya.

"Kak Clara, dia, em?" tanyanya ragu.

"Abang bertemu dengannya saat dia mau melompat dari jembatan."

"Jadi dia seperti Rachel ya?" Tanya Bila menyebut nama temannya di rumah singgah yang dulu juga berniat bunuh diri.

"Hm," Jawab Bayu membenarkan.

"Kenapa?"

"Abang tidak berhak memberitahu soal itu." Bila mengangguk paham.

"Tapi bang, bukankan sebaiknya Kak Clara tidak tinggal sendiri? Rachel bisa sembuh karena ada orang-orang yang mencegahnya melakukan selfharm, dan menenangkan ketika ia sedang down."

Bayu membenarkan, tapi "Kita tidak punya hak untuk mengaturnya, Bila."

"Huft, iya juga. Tapi, abang suka ya sama Kak Clara?" Tebak Bila membuat Bayu bingung harus menjawab apa. Apalagi melihat senyum menyebalkan Bila yang semakin merekah karena merasa abangnya salah tingkah.

"Anak kecil nggak usah sok tau," Jawab Bayu akhirnya.

Sesampainya di rumah Bila menceritakan apa yang ia lakukan tadi kepada Aya dan Aldi sembari makan malam. Sementara Bayu hanya bisa pasrah saat sang adik bercerita dengan begitu detail, sampai ke bakso tanpa mie kuning dan seledri pun Bila ceritakan.

"Adek tanya ke Kak Clara kenapa dia melakukannya?" tanya Aldi sambil meletakkan segelas air untuk putri bungsunya.

"Terima kasih, Ayah. Engga, Abang bilang nggak boleh tanya macem-macem, jadi adek nggak tanya apapun tadi." Jawab Bila.

"Abang tau?" Bayu yang sejak tadi hanya pasrah menyimak akhirnya mengangkat kepalanya, menatap sang ayah juga bunda dan adiknya yang menatap penasaran ke arahnya.

"Abang nggak tau pasti, tapi emang beberapa kali mendapati Clara melakukannya atau ke-trigger untuk melakukannya. But I guess, untuk pengalihan rasa sakit psikis. She's been through alot.

"Apa dia pernah mencoba menghubungi psikolog, bang?" tanya Aya ikut penasaran. Bayu mengangkat bahunya.

"Abang nggak tau, Nda. Tapi kalau dilihat dari tipe orangnya, dia nggak mudah terbuka dengan orang lain."

"Apa yang jadi trigger-nya, Bang?" 

Kenapa Bayu jadi merasa dirinya diwawancarai sekarang.

"Maksud Bunda, sekarang kan Clara ngajar di rumah singgah. Bunda pikir lebih baik jika kita tau yang menjadi pemicunya," lanjut Aya saat Bayu menatapnya aneh.

"Abang pikir hal-hal berbau keluarga atau relationship, dia juga insecure tentang hidupnya." Jawab Bayu setelah mengingat-ingat semua cerita yang Clara beritahukan kepadanya.

Aya menatap Bayu dengan pandangan bersalah. 

"Pekan lalu Bunda tanya kenapa Clara nggak nikah aja sama abang," kata Aya mengakui kesalahannnya.

Aya tahu kisah hidup Clara dari cerita Bayu saat di kafe beberapa waktu yg lalu. Tapi ia tak mengira kalau akan seberpengaruh itu untuk mental Clara. Ia jadi teringat ucapan dari teman psikolognya, jangan pernah meremehkan sekecil apapun permasalahan seseorang. Karena bisa jadi itu hal yang sangat sensitif baginya. Bisa jadi pula, ia telah menahan begitu lama dan sedang berjuang untuk mencari jalan keluarnya sendiri.  Lagipula setiap orang punya tolerasi rasa sakit yang berbeda dan cara tersendiri untuk coping. Harusnya Aya mengingat itu.

CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang