Now, everything will start

515 69 4
                                    

“Kalo udah gak homeschooling, lo mau ngambil sma mana?” tanya lelaki berambut hitam yang terlihat basah, baru keramas.

Yang ditanyai menengok dengan penuh minat, “Smanuba! Sama kayak lo. Penerus.”

Lelaki itu mendesih pelan, lalu melempar handuk yang tersampir di lehernya.

“Jangan. Lo gak bakal kuat, biar gue aja.”

Decihan terdengar, “Lo itu Alter, bukan Dilan,”

“Lagian kenapa sih, orang sekolah bagus juga.” lanjut gadis itu sambil menyuap satu kentang goreng ke mulutnya.

Tak memilih menjawab dengan jarak jauh, lelaki itu duduk di sofa yang sama sambil menyomot kentang goreng.

“Lo gatau sisi lainnya.”

“Semua sekolah punya sisi lain kali. Justru itu, challenge.” bantah sang gadis.

Lelaki disamping nya hanya tertawa. Ia kemudian menatap kosong ke layar televisi yang terus menerus menayangkan kabar-kabar terbaru kriminal di ibukota, Jakarta.

“Lo kenapa?”

Lelaki itu menoleh, kemudian tersenyum. Ia menyelipkan rambut panjang berwarna cokelat ke sisi telinga.

“Rambut lo cantik, dek.”

“Tumben manggil make embel-embel ‘dek’.” Sarkas sang gadis. Bukannya marah, lelaki didepannya kembali tertawa.

“Gue gak kenapa-napa,” sambil menaikkan kedua bahunya. “Cuman kangen bunda.”

Gadis itu diam, tahu seperti apa rasanya rindu kepada seseorang yang kakinya sudah tak bisa melangkah di dunia ini.

“Lo gapapa kan?” tanya lelaki itu secara tiba-tiba.

“Gue? Gapapa lah.” jawab gadis itu lantang sambil menampilkan deretan gigi putihnya.

“Gue tenang kalo kek gitu.” terang sang lelaki.

“Lo tenang aja, gue pinter jaga diri kok.”

Lelaki didepannya tertawa lagi, tetapi kali ini tawanya berbeda. Perlahan telapak tangannya turun dari rambut ke pipi hangat sang gadis. Tak sadar, gadis itu sudah meneteskan air mata. Ia rindu sentuhan tersebut.

Tiba-tiba, televisi yang sebelumnya mengabarkan berita tentang pencurian sepeda motor, berganti menjadi berita bunuh diri seorang siswa lelaki Sma Nusa Bangsa, di kamar mandi dengan menggantungkan dirinya sendiri.

Gadis itu tambah terisak, ia menoleh ke lelaki didepannya.

Mereka berdua menangis.

“Lo udah ketemu bunda?” tanya gadis itu.

Lelaki didepannya menggeleng, “Gue kira, lebih mudah ketemu dia kalo kayak gini.”

Gadis itu memundurkan badannya sedikit, “Lo gak nyata.”

Perlahan, lelaki itu menatap nanar ke gadis didepannya. Sekeliling mereka berubah menjadi berwarna hitam. Suara televisi sudah tidak terdengar. Berganti dengan suara denging yang sangat nyaring.

Lelaki didepannya hendak meraih gadis itu, tetapi kalah oleh waktu. Tubuh lelaki itu berubah menjadi butiran-butiran debu berwarna biru yang terbang menjelajahi udara. Gadis itu kembali ke kegelapan.

Ia terbangun. Jam masih menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh malam. Disamping jam kecil, terdapat foto yang menampilkan empat orang bahagia, tertawa dengan background padang bunga, nampak sangat cantik.

Tangannya mengambil foto tersebut dan membantingkan ke lantai, hingga serpihan-serpihan kaca bertaburan. Kalau tahu akan seperti ini, ia tak akan mengambil foto itu dari gudang guna memamerkannya di nakas samping tempat tidur.

Gadis itu menangkup wajahnya. Keringat sudah sampai hingga ke pelipis, bersatu dengan air mata.

Langit pun nampak ikut terisak. Hujan. Gadis itu benci hujan, hujan mengambil segalanya, mengambil semua milik gadis itu.

Tangisnya pilu, seolah-olah sedang menyerahkan semua rasa sakitnya kepada air mata, hujan, bulan dan segala aksesoris malam yang menambah kesan kegelapan.

Tangisnya pilu, seolah-olah sedang menyerahkan semua rasa sakitnya kepada air mata, hujan, bulan dan segala aksesoris malam yang menambah kesan kegelapan

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

•••

Now, everything will start.

- PAWN
@.199scoffee

PAWN : Bidak TikusOù les histoires vivent. Découvrez maintenant