Chapter 2

739 121 23
                                    

Tiga bulan lebih satu hari, keadaan masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Nari masih terjebak dalam hidup monoton yang ia jalani tanpa mengeluh. Gadis itu baru saja selesai mandi dan bersiap untuk bekerja setelah terbangun dari tidur siang. Tangisan keras Sana tiba-tiba terdengar, membuat gadis itu segera menghentikan aktivitasnya yang tengah menyisir rambut lantas keluar dari kamar dengan terburu-buru.

"Sana, kenapa? Ada apa?" Nari berjongkok untuk menyamakan tinggi tubuhnya dengan Sana yang kini menunduk sambil menangis. "Sana?"

Sana hanya bisa menutupi wajahnya yang dialiri air mata. Sejurus kemudian anak itu memeluk leher Nari dengan erat. Membuat Nari menahan napas karena merasa tercekik. Sana menumpahkan tangisnya lebih keras di pundak Nari. Hingga gadis itu refleks mengangkat satu tangannya, lalu mengelus puncak kepala Sana dengan sayang sementara tangannya yang lain merengkuh tubuh mungil anak itu ke pelukannya.

"Bibi mencubit lenganku. Rasanya sakit sekali." bisik Sana tersendat-sendat.

Mendengar pengakuan itu membuat Nari sontak terkejut. Gadis itu melepas pelukannya dari Sana, lantas beralih merengkuh kedua tangannya yang kecil. Amarah Nari seketika memuncak saat didapatinya goresan kecil dengan darah mengering dan kulit yang terkelupas di lengan kiri Sana.

"Sana," Nari menuntun Sana ke kamarnya lalu mengelus kedua pundak anak itu. "Tunggu di sini. Jangan keluar sebelum aku kembali, mengerti?"

Sana mengangguk.

Nari mendudukkan Sana di ranjangnya lalu bergegas keluar dari kamar dengan langkah cepat. Tidak butuh waktu lama bagi Nari untuk berjalan menuju dapur karena lingkup apartemennya yang kecil. Yunji yang tengah memasak seketika mengerang saat lengannya dicubit keras secara tiba-tiba. Ia nyaris saja membanting spatula di tangannya jika Nari tidak buru-buru menahan lengannya.

"Yah, apa-apaan kau ini?!"

"Ibu yang apa-apaan!" Nari mengempaskan lengan Yunji lantas menatap ibunya dengan berang. "Yah, kau sudah gila?! Ini kedua kalinya kau mencubit Sana hingga berdarah!"

"Berhenti marah-marah di saat kau sama sekali tidak membantuku dalam mengurus Sana!" Yunji mendorong pundak Nari lantas buru-buru mematikan kompor. Masakan yang baru setengah matang ia biarkan begitu saja. Wanita itu menoleh ke arah Nari seraya menunjuk wajahnya dengan tajam. "Aku mengurusnya dari pagi sampai malam sementara kau masih punya waktu untuk tidur siang dan cekikikan menonton kartun seperti bocah ingusan!"

Nari terperangah. "Aku kebagian mengurusnya di hari rabu dan kamis. Aku juga yang mengantar dan menjemputnya di halte bis saat sekolah. Bukankah kita sudah sepakat?!"

"Lalu kau pikir kita bisa diam saja tanpa asupan makanan?! Aku memasak setiap hari! Dan hari ini Sana rewel sekali! Aku sudah tidak kuat mengurusnya!"

"Ibu, sungguh—"

"Dengar," Yunji berkacak pinggang di depan Nari seraya mendengus. "Semua ini tidak akan terjadi jika kau menerima tawaran Namjoon."

Nari menggeleng tidak percaya saat ibunya lagi-lagi membahas soal masalah yang sudah lama berlalu. Sekali pun, Nari tidak pernah menyesali keputusan hidupnya. Lalu kenapa ibunya berlagak lebih berhak dalam mengambil takdir yang ia pilih? Kenapa ibunya selalu gemar bergantung pada orang lain? Sejujurnya Nari merasa sangsi, mengapa ia harus terlahir dari wanita dengan pemikiran sempit seperti Yunji? Tekanan ini rasanya melelahkan. Nari muak dengan sikap ibunya.

"Berhenti membahas masa lalu dan berhenti bertingkah seperti pengemis!" Nari meraih tali celemek yang dikenakan ibunya, menariknya, lantas berbisik di telinga ibunya. "Jika kau berani menyakiti Sana lagi setelah ini, aku tidak akan segan melaporkanmu ke polisi."

Daddy Issues [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang