10. Ibu Menangis?

308 72 46
                                    

- 𝘔𝘖𝘔 : 𝘋𝘖𝘕'𝘛 𝘓𝘌𝘈𝘝𝘌 𝘔𝘌 -

Begitu malam tiba hujan turun, bintang yang dijanjikan tak terlihat, pada akhirnya bocah itu ketiduran di ruangan dan berakhir digendong oleh ayahnya. Sowon sudah bilang jika dia ingin dijemput, sebagai suami yang pengertian Jeonghan pun menurutinya. Lagipula, hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya, Sowon tak pernah minta dijemput kecuali ketika dia sedang tidak ingin menyetir.

"Sayang."

"Ya?"

Suara keduanya memecah keheningan di lorong rumah sakit, mereka melangkah beriringan dengan Si kecil yang berada di punggung pria Hwang. Sowon menekan tombol yang bermaksud membuka elevator, setelah dibuka mereka masuk dan menunggu sekitar beberapa menit hingga sampai ke lantai tujuan. Parkiran bawah tanah.

"Eunbi kita sangat lucu," ujar Jeonghan.

"Dia pasti kecewa karena malam ini bintang yang dijanjikan tak kelihatan," kata Sowon.

"Bukankah kamu bintang untuk Eunbi?" tanya Jeonghan menggoda.

"Hentikan!" Sowon memukul pelan bahu Jeonghan. "Pelan-pelan, jangan sampai Eunbi bangun."

Jeonghan terkikik. "Jadi apakah ini sebuah pertanda bahwa Eunbi akan mempunyai seorang adik?"

Sowon memukul punggung Jeonghan, membuat pria itu sedikit terguncang ketika memasangkan sabuk pengaman untuk Si kecil. Setelah putrinya benar-benar aman, Jeonghan menutup pintu dan menghadap kepada istrinya.

"Mungkin tidak ada adik untuk Eunbi," kata Sowon. "Tidak pernah ada dalam benak pikiranku untuk melakukan program kehamilan lagi."

Sorot Jeonghan meneduh, ia mengusap surai hitam Sowon dengan penuh kasih sayang. Meskipun dalam hatinya sudah sangat berharap anak kedua, tapi Jeonghan sadar bahwa Eunbi tak begitu cukup menerima perhatian selama ini, masa kecil putrinya terbilang sepi karena kesibukan kedua orang tua.

Satu kecupan mendarat sempurna di bibir Sowon, membuat kedua pipi wanita itu memerah seketika. Padahal hal itu bukan kali pertama baginya, tapi entah kenapa Sowon bersikap seolah kecupan tersebut sebagai yang pertama.

"Aku ingin bilang bahwa ... aku tidak sama seperti dahulu lagi," kata Sowon.

"Kamu berubah menjadi yang lebih baik, mengantar Eunbi ke sekolah, mengizinkan Eunbi menemani kamu saat masih bekerja, kamu—"

"Bukan itu maksudku, Jeonghan ah."

Tiba-tiba Sowon menjadi serius, tiba-tiba juga Sowon menyebut nama lengkap suaminya. Reaksi Jeonghan benar-benar tidak percaya, ia memicingkan matanya menatap Sang istri yang berani mengubah nama panggilan dari sayang ke namanya.

"Kamu mau aku marah?" Jeonghan melipat kedua tangan di bawah dada merajuk. "Sayang, panggil Suamimu ini dengan sebutan Sayang, bukan Jeonghan."

Sowon melipat bibirnya sendiri, matanya mulai berkaca-kaca yang membuat acara merajuk Jeonghan diurungkan. Dia menyeka air matanya yang jatuh secara tiba-tiba, Jeonghan reflek meraih wajahnya dan memandang cemas Sang istri.

"Ada apa?" tanya Jeonghan. "Kenapa kamu menangis, hm?"

"Maaf."

Jeonghan menggelengkan kepalanya. "Maaf untuk apa? Tidak, kamu tidak boleh menangis, aku tidak suka, aku tidak suka kamu menangis, ya."

"Maaf tapi aku—"

"Kumohon, berhenti menangis." Jeonghan memotongnya, merengkuh tubuh Sowon erat sekali. "Kumohon, jangan menangis seperti ini, Sayang. Ada apa?"

MOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang