Diary Depresiku-2

28 5 1
                                    

Pukul 12 siang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pukul 12 siang.

Langit tak begitu bersahabat deru hujan terdengar. Silla sedang berada di Balkon kamarnya memandangi awan yang tampak berwarna hitam. Rintik hujan berjatuhan membuat banyak genangan air di jalanan.

"Hei"

Seseorang menepuk punggungnya dengan agak kasar, sejenak perhatian Silla teralihkan. Silla masih diam, mengerjap-ngerjapkan mata berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Ngapain kamu disini? Sana belajar! Nilai ulangan mu masih belum cukup, ulangan selanjutnya nilaimu harus lebih dari itu!" gerutu Bara, sambil melangkah keluar ruangan.

"Belum cukup? Setelah apa yang aku lakukan belum cukup? egois! aku selalu nurutin kemauan Papa dan itu belum cukup buat Papa? Bunuh aja aku sekalian biar Papa puas!!" Gumam Silla.

"Ngapain lagi kamu! Sana belajar jangan malas-malasan!" Tegas Bara.

Bugh!

Satu tendangan berhasil mendarat di punggung Silla. Merasa tidak puas, Bara kembali menendang kakinya.

"Aggrrhhh,  sa-sakit yah" lirih Silla.

"Sakit? Makanya jangan bantah ucapan saya!" Desis Bara sambil menginjak tangan bekas luka sayatan yang masih dibalut perban putih.

"Ma-maaff, sakit yah" teriak Silla sambil bersimpuh didepan kaki Ayahnya.

Seolah tuli Bara melepaskan ikat pinggangnya, dia tidak peduli dengan keadaan Silla, dengan tidak berperasaan dia memukulkan ikat pinggang itu kepada putrinya.

"Mam-maa__" lirih Silla pelan.

"Jangan sebut Ibumu, dia sudah tidak ada! Dia sudah mati!" Suara Bara tajam sambil berjalan meninggalkan kamar Silla dan menutup pintu kasar.

"Hiks hiks, Aku gak kuat ma! Panggil aku buat ikut mama"

Sejak kematian Ibunya, Bara menjadi pria yang kasar, semua emosinya dia lampiaskan pada putrinya. Seolah dia sangat senang mendengar tangisan dan teriakan Silla yang penuh rasa sakit.

"Buat apa aku hidup kalo cuma untuk dibenci" batin Silla.

Tidak ada gunanya ia menangis, tidak akan ada yang peduli. Lebih baik dia membersihkan luka di tubuhnya daripada harus terus menangis. Lagipula ia tidak ingin Ibunya sedih karena ia menangis, ini adalah takdirnya.

"Ma, aku gak kuat. Tapi buat Mama aku pasti kuat kok" lirih Silla dengan senyum sekilas.

Tarikan nafas gadis berkulit putih itu nampak dinikmatinya dalam-dalam, tatapannya kini sudah beralih ke arah meja belajar. Dengan baju seragam lusuhnya yang belum sempat diganti, ia berjalan ragu menuju meja belajarnya.

Dengan kasar Silla mulai membuka bukunya.

Air mata yang sedari tadi ia tahan nyatanya tumpah juga, ingin rasanya ia menangis sejadi-jadinya. Namun ia tak dapat melakukan apapun, berbicara saja percuma, bagaimana  membalas.

Silla membuang nafasnya kesal. Kemudian melanjutkan pelajaran yang dibahas disekolahnya tadi.

Merasa sudah cukup lama belajar. Ia menutup bukunya. Berjalan ke arah ranjang tempat tidur. Merasa cukup lelah dengan kejadian hari ini ia memilih untuk istirahat sebentar.

Bahkan saat ingin menutup mata pun ia tetap merasa tidak tenang.

***

Suara telepon membangunkan Silla dari tidur pulasnya, gadis itu menggeliat diatas ranjang meregangkan otot-otot tubuhnya. Dia mengerjap, menghela napas pelan, menggapai ponselnya yang sedari tadi berbunyi.

"Hallo" ucapnya mengangkat telpon.

"Sill keluar yuk, bosen nih" terdengar suara Shena dari telpon.

"Gue gak bisa Shen, maaf, ya? biasanya bokap gue" terangnya

"Lo gapapa kan? Apa perlu gue kerumah Lo?" Shena tampak khawatir dengan keadaan temannya.

"Makasih ya, Shen. Gausah besok kan kita ketemu di sekolah" tolak Silla. Karena jika Ayahnya tau dia berhenti belajar maka Ayahnya akan turun tangan lagi.

"Yaudah, istirahat ya Sill gue tutup dulu telponnya"

"Siap siap"

Silla mengelus-ngelus tangannya yang gemetar, matanya sudah sembab karna terlalu lama menangis. Namun, ketika ia memperhatikan luka-lukanya otaknya tiba-tiba saja flashback pada kejadian-kejadian yang dilakukan Ayahnya.

Nyatanya ia lelah dengan semua itu, toh dia sudah terbiasa dengan perlakuan Ayahnya. Jadi, seharusnya bukanlah hal yang sulit, kan?

"Ma, ternyata hidup tanpa mama jauh lebih sulit"

Otak Silla berdebat hebat hingga ia merasakan sakit kepala. Silla menggapai silet yang selama ini ia gunakan untuk menyayat tangannya. Saat ini ia benar-benar kehilangan arah hidupnya.

Terjebak diantara dua pilihan.
Mati ditangan Ayahnya, atau
Mati ditangannya sendiri.

 Mati ditangan Ayahnya, atauMati ditangannya sendiri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Terima kasih, yah. Kenangan yang kau berikan sangatlah indah. Aku menghargainya!

✧✧✧✧

TBC

JANGAN LUPA TINGGALIN JEJAK KALIAN DISINI

Diary Depresiku Where stories live. Discover now