Diary Depresiku - 3

27 1 0
                                    

Silla terlihat duduk di bangku penumpang, sedangkan matanya nampak memperhatikan keindahan alam dari kaca jendela taksi yang tengah ia naiki.

Supir taksi itu berhenti menghampiri seorang pria yang sepertinya sedang menunggu taksi, dengan seragam sekolah yang dikenakannya sama dengan seragam Silla. Artinya mereka bersekolah ditempat yang sama.

Sontak saja mata Silla membulat, bukan hanya itu, seseorang pria yang memasuki taksi ternyata adalah teman sebangkunya, Evan.

Otak Silla berhenti bekerja begitu Evan duduk disebelahnya.

"Perbannya belum diganti" ucap cowok itu tanpa melirik Silla.

Silla mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha mencerna ucapan cowok itu sambil menutupi tangannya.

"Kenapa, hm?" Tanya Evan menatap gadis yang duduk disampingnya itu.

"H-hah? Apanya?" Balas Silla lugu.

"Budek banget Lo!" Evan memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela mobil.

Keadaan kembali hening.

"Tumben nih anak ngomong biasanya diem kayak patung" lirih Silla pelan.

"Gue manusia bukan patung!" Timpal Evan.

"Gue gak ngomongin Lo!" Ucap Silla mencoba mengelak.

"Gue gak budek!" Tegas Evan.

Silla terdiam. Keadaan kembali hening hingga mereka tiba di depan gerbang sekolah.

Evan berjalan mendahului Silla. Kemudian Silla menyusul.

Kenapa gak barengan aja? Kan satu kelas (author)

"Lo buntutin gue!" Tuduh Evan.

"Pede Lo, ngapain gue buntuin Lo kayak gak ada kerjaan lain aja" sinis Silla.

"Terus ngapain Lo ngikutin gue!"

"Gue mau ke kelas, duduk di bangku ternyaman gue. Lo lupa kita satu kelas?" Jelas Silla tak mau disalahkan.

Silla berjalan mengabaikan Evan, dengan raut wajahnya yang terlihat kesal.

"Pagi Sill" Shena menyambut kedatangan Silla yang langkahnya disusul dengan Evan.

"Cieee temen barengan, ada apa nih?" Lanjut Shena.

Evan tak memperdulikan mereka berdua, terus berjalan menuju kursinya.

"Apaansih Shen" Silla tak terima.

"Perbannya belum diganti? Nanti main kerumah gue aja biar gue gantiin, mau?" Shena menawarkan.

Beruntungnya Silla karena masih memiliki teman sebaik Shena, yang selalu mengerti dengan keadaannya. Sebisa mungkin Silla berusaha untuk tidak mengecewakannya.

"Gausah deh Shen, gue ganti sendiri aja" tolak Silla.

"Yaudah deh"

"Selamat pagi Pak," Suara serentak para siswa memaksa Silla dan Shena untuk kembali ke tempat duduknya semula. Tak terkecuali dengan Evan yang segera memperbaiki kursi dan mengibaskan seragam miliknya yang terkena hempasan debu.

"Buka buku biologi kalian, silahkan belajar sepuluh menit kita akan mengadakan ulangan harian seperti yang bapak bilang tempo hari" perintah guru biologi yang terlihat tua dengan usianya yang masih berkisar tiga puluhan. Guru tersebut mulai menjelaskan tentang bagaimana proses pertumbuhan manusia. Silla yang notabene tak suka dengan pelajaran biologi terlihat mencorat-coret buku sembari menopang dagunya malas.

"Boleh nanya nggak pak?" teriak salah satu siswa.

"Tidak boleh. Simpan saja pertanyaanmu buat nanti, saya lagi males mikir" jawabnya setengah ketus. Sontak membuat para siswa tertawa.

***

Istirahat adalah waktu yang paling dinantikan oleh semua murid, dan kantin adalah tempat istirahat terbaik. Silla sekarang sedang mengisi perut bersama Putri. Diiringi candaan sehingga meja tersebut terlihat ada kehidupan.

Tanpa persetujuan mereka tiba-tiba saja Evan datang dan duduk bergabung bersama mereka.

Melihat itu Putri tak terima "Nih anak gak ada sopan santunnya asalah nyelonong gabung aja!"

Zahra mengelus pundak Putri "Udah gakpapa put lagian kursi semua penuh"

Evan tidak melirik mereka sedikitpun, ia hanya sibuk melahap makanannya.

"Betah ya Lo sebangku sama nih anak?" Tanya Putri menunjuk wajah Evan.

"Jarang banget ngomong. Takut kehabisan suara Lo?" sambungnya menatap Evan.

Evan melirik sekejap "Apa urusannya sama Lo?"

"Sumpah, Lo ya!" Putri mengepalkan tangannya mencoba memukul wajah Evan yang sangat mengesalkan.

"Eh eh udah-udah ayok kita ke kelas aja put" ucap Zahra menarik paksa tangan putri menuju kelas.

Melihat kejadian itu Evan hanya melirik sekilas kemudian melanjutkan kegiatannya. Tak peduli apa yang mereka lakukan selagi tidak mengganggunya.

Tepat saat mereka memasuki kelas bel masuk pertanda istirahat selesai dan segera melanjutkan pelajaran.

"Ngeselin bener tuh anak!" Umpat Putri dengan wajah kesal.

Zahra terkekeh melihat kelakuan temannya itu, mirip seperti ibu-ibu yang sedikit-sedikit suka ngedumal "Udah-udah lupain aja" ucapnya.

"Siang pak" ujar murid kelasnya kompak. Memutus pembicaraan Zahra dan Putri.

***

Seorang gadis berumur delapan belas tahun sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangannya yang menangkup wajah, Hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat setelah kejadian naas satu tahun lalu. Dia di benci oleh Ayah kandungnya sendiri.

Dia tak habis pikir, kesalahan yang sama sekali tidak dia perbuat harus dirinya yang menanggung. Dia benar-benar merindukan sang Ibu, wanita yang telah mengorbankan nyawanya agar Silla bisa selamat dari mobil yang hampir menabraknya satu tahun silam. Tapi Ayahnya malah menganggap kematian sang Ibu adalah salahnya, tidak ada yang menginginkan dirinya. Ayahnya menganggap Silla sebagai seorang pembunuh.

Perlakuan Ayahnya membuat Silla bukan saja tersiksa fisik, namun mental nya pun menjadi korban.

Kakinya kembali terasa lemas, ia terduduk diatas lantai. Lagi-lagi ia terisak, masih tak menyangka jika Ibunya benar-benar telah pergi. Ia harus menerima takdir hidupnya yang sudah berubah seratus persen.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 04, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Diary Depresiku Where stories live. Discover now