Prolog

58 6 11
                                    

Riuh sorak-sorai jalanan ibukota di sekitar Senayan menjadi pusat sorotan dunia. Para pendemo melantangkan aksi protesannya kepada para pejabat karena tidak setuju akan satu peraturan undang-undang yang menenggelamkan hak asasi manusia kaum kelas bawah.

Semua kalangan termasuk para mahasiswa berbondong-bondong menyuarakan suaranya dengan penuh gairah semangat. Tidak lupa banyak sekali jurnalis yang me-report aksi para pendemo untuk disetorkan ke pihak perusahaan agar dapat diberitakan secepatnya.

Panas terik matahari tidak membuat setiap jiwa itu mengeluh kelelahan. Lain halnya dengan Minara Mega Dahayu atau yang biasa akrab dipanggil Mega terduduk lemas akibat dehidrasi.

Peluh keringat membasahi pelipisnya membuat Mega meminta izin untuk beristirahat sejenak kepada rekan kerjanya.

Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari pedagang asongan yang menjual air mineral. Nihil, tak ada satupun pedagang yang lewat.

"Cuy! Gue mau cari minuman dulu yak! Haus nih. Seret banget tenggorokan gue," ujarnya pada Cakrawala yang diketahui teman satu timnya.

"Yoii. Hati-hati lo nanti keseret terus keinjak." Mega hanya mengacungkan ibu jarinya dan pergi meninggalkan Awa sendirian.

Sepanjang jalan Mega menerobos di antara desakan orang-orang yang sedang berdemo. Posturnya yang biasa adiknya sebut si cilik ini mampu melewatinya hingga Mega dapat bernapas lega.

Punggung tangan kanannya mengusap keringat di sekitar leher dan keningnya yang sedari tadi terus bercucuran. Rambut yang ia ikat sudah berantakan dengan helaian yang saling menempel akibat lengketnya yang berasal dari keringatnya.

"Gue bau matahari banget anjir," keluhnya seraya memasuki pintu minimarket.

Belum juga ia membayar, sosok laki-laki menabraknya hingga menumpahkan satu cup kopi yang membuat bajunya basah terkena cipratan air kopi.

Mega berdecak sebal. Saat ia hendak membersihkan noda bekas kopi itu, orang yang menabraknya memberikan sapu tangan agar Mega tak menggunakan tangannya untuk membersihkan bajunya.

"Sebagai tanda maaf saya," ujarnya seraya menyerahkan sapu tangan miliknya.

Dalam hati, Mega mencaci maki yang diketahui adalah seorang pria yang memiliki postur tubuh tinggi, hidung bangir, rambut yang tersisir rapi sehingga menampilkan dahinya yang membuat siapa saja menyangka bahwa pria itu adalah orang kaya sultan.

Mega memandangi pria itu dari atas hingga bawah. Ia juga memperhatikan gaya rambut komanya. Wajahnya... tampan, tapi...

"Beliin gue tisu kek? Apa kek? Ini sapu tangan doang anjir!" batin Mega kesal. Namun, ketika ia meraba tulisan bordiran yang ada di sapu tangan itu sontak mata Mega membulat sempurna. Rahangnya hampir lepas dari tuannya tatkala melihat tulisan 'Louis Vuitton' terpampang nyata di depan mata kepalanya sendiri.

Dengan mudahnya pria itu berkata, "Ambil aja. Saya masih banyak stok di rumah. Kalau masih butuh, saya ambilkan di mobil."

Kampret!

Mega lagi-lagi dibuat mengumpat oleh kesarkasan yang terkesan merendahkan dirinya.

"Eh! Anda jangan mentang-mentang bisa beli sapu tangan ini seenaknya ngerendahin saya ya! Situ siapa? Anaknya Raffi Ahmad? Gue dong! Anak bapak Rozali. Bapak RT di kampung," sentak Mega tak terima.

Pria itu lantas mengerutkan keningnya. Perempuan ini baru kenal sudah berani membentaknya? "Are you okay, Mrs-" ucapannya terjeda beberapa saat setelah mencari-cari namanya, "Mrs. Minara Mega Dahayu?"

Mega semakin tidak terima, ia memberikan bekas sapu tangan itu dengan lemparan yang cukup keras ke dada bidang pria tersebut.

"Makan tuh LV! Gue punya LV juga alias Luwak Visan!"

Gelora Asmara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang