#1 - Hari yang gila

19 1 2
                                    

Suara klakson mobil menyadarkan Evans dari lamunan panjangnya. Ia menengadah dan mencari sosok yang sedang ditunggu sedari tadi.

"Baru balik, Kak?" sapa Evans. Ia melipat koran yang sedang dibaca dan menyimpannya di atas meja.

Orang yang disapa itu kemudian mendekati Evans dan menyalaminya. Ia mengangguk lesu lantas ikut bergabung duduk di kursi yang terbuat dari rotan.

Embusan napas panjang membuat Evans melirik sosok itu dengan kerutan di dahinya.

"Kenapa? Ada masalah di hotel?" tanya Evans khawatir.

Dia menggeleng lantas menyatukan kedua tangannya.

"Pa, Jesse khawatir sama Dian," akunya. Gurat wajah kekhawatiran itu ia tunjukkan pada Evans.

Evans hanya tersenyum menanggapi ucapan pria itu.

"Kamu khawatir karena Petra gak bisa jaga adikmu?" tanya Evans.

Jesse mengangguk mengiyakan. "Iya, Pa."

Evans terkekeh, "Adikmu sedang berbulan madu. Dian sama suaminya, bukan sama Marson."

Evans lantas berdiri dan menghampiri putranya. "Terus kenapa kamu balik liburannya?"

Pria itu hanya berdecak lantas menyingkirkan tangan Evans. Ia merasa papanya akan menjailinya.

"Merasa jomlo di antara orang-orang yang sudah menikah, huh?" Tatapan Evans sungguh membuat pria itu berdecak sebal.

"Mulai deh! Udahlah. Jesse mau ke kamar." Ia mengalihkan topik pembicaraan yang tentu saja membuat Evans tergelak.

Evans tatap punggung pria itu hingga kembali berbalik.

"Pa?"

"Apa?" balasnya dengan senyuman penuh kejailan.

"Kenal Minara Mega Dahayu? Dia karyawan Papa kan?"

Evans lantas berpikir sejenak dan setelah berusaha mengingat nama yang telah disebutkan, ia mengangguk.

"Kenal. Dia jurnalis di perusahaan Papa."

Pria itu menjentikkan jarinya lalu mendekati Evans kembali. Ia simpan telapak tangannya di bahu Evans.

"Pa, tahu bad decisions?"

Evans menggeleng. "Kenapa?"

"Keputusan terburuk adalah menyatukan Jesse dan si jurnalis itu di satu proyek!"

"Eh, tunggu!" Evans lantas menghentikan ucapan pria itu.

"Jangan bilang kamu mau-," belum juga selesai pria itu sudah menyambar ucapan Evans.

"Iya! Jesse gak mau satu proyek sama dia. Batalkan aja."

Evans mencebik, "Halah! Kamu tuh alasan aja karena gak mau masuk televisi!"

"Pa... ," pintanya dengan suara memelas.

"Gak ada! Kamu tetap bergabung sama dia."

"Pa... ."

"Enggak! Sekali Papa bilang enggak, ya enggak! Jesse Arthayasa jangan membangkang Papa, ya!"

Kesal. Pria itu lantas mendudukkan kembali tubuhnya di kursi. Ia lalu melihat Papanya pergi meninggalkannya dalam keadaan emosi yang mendidih.

"Minara Mega Dahayu. Dia pasti bakalan banyak bicara. ARGHHHHH," geramnya seraya mengusap wajahnya kasar. Ia sungguh frustrasi membayangkan hari-harinya akan dipenuhi dengan suara yang bising.

Pria itu sungguh tidak suka!

***

"Monyet!" umpatnya kesal. Ia mengentak-entakkan kakinya ke jalanan aspal. Cakrawala yang sedang membenarkan tripod hanya bisa menghela napasnya dan mengusap dadanya sabar.

Seniornya ini pasti sudah mengalami hal buruk.

"Wa! Lo sebel gak sih?" todong Mega tanpa aba-aba.

"Enggak. Awa gak sebal. Kenapa deh?" tanyanya santai. Ia kemudian duduk di jalanan trotoar setelah meliput aksi demonstran.

"Gue baru aja ketemu orang astral. Dia sok kaya! Terus, terus," ucap Mega beberapa kali mengatakan kata 'terus' hingga celetukan dari Cakrawala membuatnya berdecak.

"Kang Parkir kali terus-terus!"

"Dia ternyata anaknya Evans Arthayasa anjir!" ucap Mega frustrasi.

"Hah? Siapa?"

"Jesse Arthayasa!"

Kerutan di dahi Cakrawala membuat Mega lantas mengeluarkan ponselnya lalu mencari aplikasi google. Ia mengetikkan nama Jesse Arthayasa di kolom pencarian hingga muncul profile beserta biodatanya.

"Nih," ujar Mega seraya menyodorkan ponselnya. Ia memperlihatkan seorang Jesse kepada Cakrawala.

"Koki? Kok beda sama Pak Evans?" tanya Cakrawala heran.

Mega mengedikkan bahunya. "Mana gue tahu. Anjir Wa! Mati gue karena tadi bentak-bentak dia."

"Mampus!" Bukannya merasa iba, Cakrawala mengatainya bodoh.

"Makanya, tuh mulut beneran harus dijaga," cibirnya.

"Dijaga gimana?"

"Gue cium!"

"Monyet!"

Cakrawala tergelak melihat seniornya yang sudah diambang jurang penyesalan.

Suara sirine dan teriakan para mahasiswa menyadarkan mereka dari guyonan dan cacian.

"GAS AIR MATA! POLISI! GAS AIR MATA!" Teriakan dari para pendemo membuat Mega dan Cakrawala segera bergegas menuju TKP.

Keduanya segera meliput apa yang sedang terjadi. Suasana menjadi ricuh dan banyak korban yang berjatuhan entah itu terinjak atau terkena gas air mata.

Mega meringis. Ia menelan ludahnya susah payah saat seorang mahasiswi terinjak oleh orang-orang yang berlarian.

"Sekian laporan dari saya, Minara Mega Dahayu."

Mega mengakhiri laporannya dan segera berlari menuju mahasiswi itu berada.

Mega mencoba bertanya padanya namun, tidak ada respon sama sekali. Mega yakin, mahasiswi ini tidak sadarkan diri.

"Bawa ke mobil aja. Ayo biar gue yang gendong."

Tanpa menunggu waktu lama, Mega segera membantu Cakrawala untuk membawa mahasiswi ini ke rumah sakit terdekat.

"Gas air mata ini sungguh solusi buruk!"

Hari ini, menjadi hari tergila baginya. Entah esok akan lebih gila atau melebihi gilanya hari ini.

***


Salam, Hanaaa.

Gelora Asmara Where stories live. Discover now