Bagian 7

680 131 8
                                    

Sepertinya sudah lama sejak aku membicarakan Rehan bersama Lingga. Terakhir kali mungkin ketika Jordy sengaja menjemputku ke sekolah sehingga kedua lelaki itu bertemu. Mungkin juga saat pertemuan tak sengaja dengan Rehan ketika aku dan Jordy berkencan pun aku memberitahu Lingga. Entahlah!

Satu hal yang pasti. Aku cukup heran karena Lingga tiba-tiba membawa Rehan dalam pembicaraan kami. Seolah-olah Lingga mengenal Rehan lebih dari sekedar apa yang aku ceritakan padanya.

Keherananku terjawab sudah setelah bertanya lebih jauh pada Lingga. Nyatanya saat pesta pernikahan Jordy, Rehan mendekati Ardi. Rehan yang mengenalkan diri lebih dulu dan mengaku pernah melihat wajah Ardi di media sosialku. Aku memang sering memposting kebersamaan dengan pasangan itu.

Setelah perbincangan singkat keduanya yang sampai ke telinga Lingga, dia mengartikan sendiri kemungkinan perasaan Rehan. Dan tentang itu memang benar adanya.

Rehan tampaknya masih berharap agar kami bisa bersama padahal sebelumnya aku menduga dia tak lagi memiliki pemikiran itu. Pembicaraan kami senin lalu mungkin sebagai bentuk pelampiasan rasa kecewanya yang masih tersisa padaku.

Dengan mempertanyakan perasaanku sebelumnya, aku berharap Rehan murni bertanya karena dia penasaran. Aku pikir Rehan bisa saja memiliki maksud menyentil egoku karena sudah menolaknya dan tetap mempertahankan hubunganku bersama Jordy hingga akhirnya aku ditinggal nikah.

Namun nyatanya dia mempertimbangkan untuk mengajakku jalan setelah mendengar sendiri pengakuanku. Dan aku tentu menolak ajakan itu karena tak tertarik untuk pergi bersamanya.

"Kalau begitu, besok lusa bagaimana?"

Aku beralasan kalau ada hal penting yang harus aku kerjakan sepanjang hari besok. Aku tak menjawab dengan jelas ketika dia bertanya lebih jauh tentang kesibukanku. Tapi Rehan tak menyerah agar bisa membawaku untuk jalan-jalan dengannya.

"Saya nggak bisa, Pak. Hari minggu saya harus ke rumah teman. Kebetulan suaminya ke luar kota. Jadi dia minta untuk ditemani. Katanya sepi kalau sendirian di rumah."

Tentu saja itu adalah kebohongan semata. Jika teman yang aku maksud adalah Lingga, dia akan lebih senang aku menampakkan diri di tempat umum dibandingkan harus menemaninya di rumah sepanjang hari sekalipun dia hanya sendiri.

"Kalau alasan tadi, saya bisa percaya kamu. Tapi alasan yang kedua itu hanya karangan kamu saja kan, Na? Kamu sebenarnya enggan jalan sama duda seperti saya kan?"

Hah! Dia kembali mengungkit-ungkit statusnya lagi. Padahal aku tak lagi memikirkan itu. "Saya serius, Pak."

"Suami teman kamu itu Ardi kan?" Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel. "Saya akan tanyakan pada Ardi. Apa dia bisa membawa istrinya pergi ke luar kota agar kamu punya waktu senggang untuk saya atau nggak."

"Apa-apaan?"

Aku berteriak sebelum menutup mulut cepat. Tiga orang guru yang awalnya tampak asyik berdiskusi sehingga tak memperhatikanku dan Rehan kini melihat kearah kami.

Aku meringis sebelum mengangguk singkat. Mulutku menggumamkan kata maaf, entah mereka dengar atau tidak. Mereka pasti mengerti bahwa aku merasa bersalah dan tak akan mengganggu lagi.

"Bapak nggak bisa seenaknya begitu dong. Itu bukan urusan yang bisa Bapak campuri. Lingga sedang hamil."

Selain karena takut kebohonganku terungkap, aku juga tak suka dengan sikap Rehan sekarang. Hanya bertemu dan berbincang sekali dengan Ardi, dia bersikap seolah-olah sudah masuk kedalam lingkup pertemananku dan bisa memerintah seenaknya.

"Temanmu bukan anak kecil yang perlu kamu awasi dua puluh empat jam. Kamu bisa menemaninya sebelum dan sesudah pergi sama saya kan, Na? Saya nggak akan menghabiskan waktu kamu seharian."

Billing My PromiseDonde viven las historias. Descúbrelo ahora