Bagian 14

532 124 27
                                    

🤗

Entah siapa sebenarnya yang sedang dicari Dina sekarang. Mahasiswi yang sedang melaksanakan praktek kerja lapangan itu tak bertanya padaku. Aku pun tak melakukan hal yang sama padanya. Aku hanya mengabaikan dan melanjutkan kegiatanku, bersiap-siap untuk pulang.

Haqla sudah menunggu didepan, begitu kesimpulan dari pesan yang dikirimnya padaku beberapa saat lalu. Padahal tadi pagi aku sudah mengingatkannya untuk menjemput ku setengah jam lebih lambat dibanding biasanya agar dia tak menunggu lama. Tapi tetap saja Haqla datang di jam biasa.

Aku menatap Dina lagi ketika dia menutup pintu dari dalam. Tampaknya dia sudah selesai memindai seisi perpustakaan dengan mata bulatnya itu. Sekarang aku bisa menebak kalau Dina sebenarnya ingin bicara denganku tanpa keberadaan orang lain di sekitar kami. Dan entah kenapa aku langsung tahu apa yang ingin dia katakan padaku.

"Bisa bicara sebentar nggak, Mbak?"

Perangkat komputer sudah ku matikan. Terakhir hanya perlu mendorong kursi yang biasa ku duduki ke bawah meja, dan kemudian aku bisa pulang. Tapi aku menahan diri untuk tidak melakukannya lebih dulu. Karena jika pembicaraan ini berlangsung agak lama, bicara sambil berdiri mungkin tak cukup menyenangkan.

"Bisa, Din. Kamu mau bicara apa?"

Dina mengusap lengannya. Sudah pasti dia tidak akan kedinginan karena AC sudah ku matikan sejak tadi. Dia tampak gugup padahal aku tidak dalam mode mengintimidasi. Karena untuk apa juga aku melakukan itu? Dina dan aku tak punya masalah apapun.

"Ehmm.... Jadi Mbak Ina sama Mas Rehan benar-benar udah selesai kan?"

Seperti yang ku duga, dia ingin membicarakan tentang Rehan padaku. Dan semoga ini tak akan berakhir seperti kami tengah memperebutkan seorang lelaki. Itu menggelikan.

"Apa yang bisa dibilang selesai kalau nyatanya kami nggak pernah memulai apapun, Din?" Aku balik bertanya dengan ekspresi bingung yang dibuat-buat.

"Tapi kalian katanya lagi pendekatan."

Dina terlihat agak kesal ketika mengatakan itu. Padahal sejak dia datang ke sekolah beberapa minggu lalu, seharusnya dia sudah mendengar kabar yang tidak benar tentangku dan Rehan karena itu bukan hal yang baru lagi disini. Kenapa harus kesal sekarang coba?

Aku menggeleng. "Saya sama Pak Rehan nggak pendekatan," bantahku.

"Tapi banyak yang bilang begitu."

"Siapapun yang bilang begitu ke kamu, mereka cuma salah paham," tegasku sambil menatap Dina lekat. "Jujur ya, Din. Saya sudah menolak Pak Rehan. Jadi pendekatan atau apapun yang kamu dengar itu nggak benar adanya. Bagi saya Pak Rehan hanya rekan kerja di sekolah, nggak pernah lebih dari itu."

Kenapa aku harus menegaskan hal ini pada Dina? Jawabannya hanya satu. Karena gadis ini sepertinya sudah terlanjur berharap pada Rehan.

Lelaki itu nyatanya memang tak hanya mendekatiku, tapi gadis muda ini juga. Rehan melempar umpan padaku, Dina dan mungkin —entah benar atau tidak— pada perempuan lain. Aku tak memakan umpannya sementara Dina sudah terlanjur.

Hari itu aku melihat Dina bersama Rehan. Setelah menyadari kalau aku melihatnya, Rehan urung mengajak Dina makan ditempat yang sama denganku. Mungkin Rehan tidak tahu kalau Dina pun sudah lebih dulu tersenyum malu padaku saat kami sempat bertatapan mata sebelum mereka pergi.

"Apa karena saya? Maksudnya karena Mbak lihat kami waktu itu jadi Mbak nggak mau lanjut sama Mas Rehan? Jujur saya agak terganggu kalau benar begitu, Mbak. Karena saya sempat mengira perasaan Mas Rehan sama Mbak Ina itu cuma sepihak."

"Sudah lama saya menolak Pak Rehan, Din. Jauh sebelum kamu datang ke sekolah ini saya sudah menolaknya. Itu nggak ada sangkut pautnya sama kamu."

Dina tersenyum miris. "Habisnya saya dengar gosip, Mbak. Katanya gara-gara saya jalan sama Mas Rehan sebelumnya, Mbak Ina nggak mau nikah sama Mas Rehan. Hari itu kan cuma Mbak Ina yang lihat kami. Kalau bukan Mbak yang bilang—"

Billing My PromiseWhere stories live. Discover now