5

22 5 45
                                    

1 Desember 2019

“Iya Man, beneran. Lucu banget kan?”

“Duhh, kalau dikirimin ginian juga baper kali. Aswa-Aswa minimal datang dulu kali…”

“Yahh… jangan dulu lah. Gue belum siap jantung, Man.”

Aku mendengar Maneesa yang bergumam seperti orang mual disebrang panggilan, tapi benar-benar dan nyata membayangkan Aswa saja aku jantungku berpacu dan kepalaku seperti menyoraki nama Aswa berkali-kali, apalagi kalau memang beneran nyata. Pingsan? Jadi patung? Atau mungkin kesurupan?

“Heh! Gue tau lo lagi baper, tapi kalau ternyata Aswa itu bapak-bapak anak empat trus duda gimana?”

Aku duduk dengan anggun dan masih senyam-senyum di kursi kelas yang masih sepi, “Yahh.. gue tinggal bilang aja ke anak-anaknya, kalau aku calon mama kamu.. ciiiaaaahhh….” Aku tertawa sambil menutup mulutku dengan tangan kiriku. Segila inikah aku bila menyangkut pria yang dua tahun aku kenal tapi tak tau wujudnya.

“Ihh.. tapi ya, dari foto siluet punggungnya aja, Aswa masih muda. Dan kayaknya dia mirip itu deh, Man. Yang main film Harry Potter─”

“Voldemort?” Potong Maneesa cepat lalu kudengar dari speaker juga ia seperti mengunyah sesuatu.

Aku berdecak karena nggak mungkin Aswa berwujud seperti itu, kulit pucat dan tidak ada hidung? Yang benar saja. “Dia aku yakin mirip Cedric.”

“Mokad? Kalau Aswa is death gimana? Kasihan nggak bisa layat.”

“Lo masih pagi omongan lu kek gitu, awas aja ya kalau gue beneran ketemu Aswa. Gue fotoin mukanya masuk dalam kartu nikah sekalian.. wlee.. bye!”

Aku mematikan sambungan telepon, Maneesa mungkin senang melihat aku juga bahagia  tapi ia tetap mewaspadai Aswa. Makanya responnya selalu begitu, tapi selayaknya sahabat Maneesa memang masih terus mendengarkan curhatan penuhku tentang Aswa.

Kelas yang masih sunyi membuat aku ada kesempatan untuk diam-diam membuka kembali surat yang Aswa kirim dua hari yang lalu. Menatapi tulisan tangannya yang rapi dan indah, bahkan ku akui tulisannya memang lebih bagus dari tulisan tangan Maneesa yang semerawut dan sulit dibaca.

Sekarang setelah menyimpan surat itu di dalam buku diaryku, kini aku memasang earphone dan menggulung rambutku dengan ikat rambut agar sepanjang materi nanti rambut ini tidak mengganggu. Ada dua orang yang masuk kedalam kelas, aku melemparkan senyum simpul dan masih mendengarkan lagu Sorai dari Nadin.

Ketika dunia saling membantu
Lihat cinta mana yang tak jadi satu

Selesai lirik itu hatiku seperti memancarkan engeri yang membuat tubuhku otomatis menghangat, kalau bahasa kerennya sih lagu ini sedikit related, tapi mungkin hanya aku saja, tapi seperti disebutkan oleh Nadin, jika semesta berkendak Aswa pasti akan luluh juga.

“RISOL!”

Seseorang masuk kedalam kelasku, mengangetkan dua orang didalam ruangan ini juga termasuk aku yang ikut terperanjat karena kuatnya suara mereka.

Dua orang memasuki kelas, satunya bertubuh kurus tinggi dengan rambut sedikit gondrong dan satu lagi yang menggendong keranjang berisi barang jualannya yaitu, Haidar.

“Eh, Nala. Risol, Nal?”

Ia mendekat ke bangkuku, kemudian ia mengangkat keranjang dan memperlihatkan isinya padaku. Ini pasti tugas anak UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) untuk menggalang dana tambahan atau apapun itu yang aku sendiri kurang mengerti konsepnya.

“Nih ada risol mayo, risol isi ayam, isi sosis, isi nomor wa gue juga ada kok.”

Tatapanku langsung terpancar pada Haidar seperti mengatakan ‘apaan sih’ aku lontarkan pada Haidar yang masih menunggu aku meresponnya, yang pasti ia mengharapkan aku membeli dagangannya.

After Blue Where stories live. Discover now