Chapter 8: Perayaan.

732 64 10
                                    

Jangan nilai aku dengan apa yang kalian tahu. Karena tidak ada mampu mengerti diriku, selain aku. Tidak juga kau, kalian dan mereka.


Arka sudah memutuskan, tekadnya bulat untuk tidak menghadiri ajakan Fachrel tadi pagi. Terserah anak itu akan menganggap bagaimana pada akhirnya. Egois atau kekanakan, Arka tidak mau memikirkan terlalu dalam.

Karena Arka masih punya alasan besar dan ditunjang ego yang tinggi. Dimana lukanya menjadi alasan yang melatarbelakangi, atas penolakan Arka datang menginjakkan kaki.
Lukanya jauh lebih besar dibanding dengan penilaian Fachrel yang tidak terlalu penting bagi Arka sendiri.

Meskipun dia sudah menyiapkan  sebuah kado yang telah dibungkus rapi, dengan pita merah berbahan satin. Dia menatap nanar kotak kado itu, ada sedikit rasa kecewa yang merambati pikiran. Harusnya, malam ini dia dan Mamanya bisa merayakan bersama, hanya berdua, sederhana tapi hangat dirasa.

Tapi, Arka tidak menyesali, harga dirinya lebih penting agar tidak lagi jatuh dan terinjak orang lain.
Sesaat Arka melihat ponselnya, ingin mengucapkan selamat dan menghamburkan doa untuk Mama, melalui media elektronik itu. Tapi urung, rasanya akan lebih baik jika dia mengucapkan dengan menatap langsung wajah Mama.

Akhirnya dia hanya bisa memandang  kenangan potretnya dengan Vania dalam ponsel yang masih tersimpan dan selamanya tidak akan pernah dihapus Arka.

“Ma, selamat ulang tahun.. Semoga Mama selalu diberi kebahagiaan, dan kesehatan juga umur yang panjang. Aku berharap aku bisa kumpul bareng Mama, berdua, rasain peluk dan usapan tangan Mama lagi. Meskipun sekarang terdengar mustahil, tapi semesta punya banyak misteri kan Ma? Aku harap semesta mau memihak Arka lagi. Ma, Arka....kangen Mama.”

Meskipun Mamanya tidak akan tahu, minimal waktu mendengar doa Arka yang tidak kalah berharga dari orang-orang disamping Mama saat ini. Doa yang terucap tanpa kue, tanpa lilin yang baru saja padam ditiup Mama, bahkan tanpa harus menunggu esok menemui Vania yang sebenarnya bisa Arka lakukan.

★★★★

Fachrel menikmati ketika rinai diluar ruangan menggema mengisi hening kamarnya. Hujan  mengguyur hampir seharian penuh. Meskipun dia tidak terlalu menyukainya, Fachrel tetap menikmati. Sebab, hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang.

Dia ingin menyisir sekitar rumah ketika hujan mengurungnya di rumah saja, seperti dulu. Tapi nyatanya tidak bisa, dia menghindari untuk terlalu sering bertemu dengan Vania dirumah ini. Rumah yang harusnya tetap terasa nyaman seperti rumah sendiri.

Menghindari Vania adalah hal yang paling sering Fachrel lakukan. Entah berkunjung ke rumah Om Arya ketika cuaca sedang baik-baik saja. Atau kerumah Garan ketika dia malas mendengar ceramah Om Arya. Namun sekarang, hujan berhasil membelenggu Fachrel dikamar, dengan niatnya menghindari Vania yang tidak menemui jalan.

Kamar, satu-satunya tempat dimana dia bisa menjadi dirinya sendiri. Selain itu ruangan privasi itu juga menjadi ruang yang mampu membuatnya merasa nyaman, dan menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa.

Getar, ponsel Fachrel yang terletak diatas kasur dengan layar yang menyala, mengalihkan atensi Fachrel dari fokusnya keluar ruangan yang telah tenggelam dalam gelap langit malam. Kontak atas nama Ayah terpampang disana, lihai ibu jarinya mengusap tombol berwarna hijau, dan mengangkat ponsel itu mendekat ke telinganya.

Halo?”

“Halo Yah?”

Dek, dari tadi sore Ayah mencoba menghubungi nomor Arka, tapi kok nggak diangkat ya?”

“Aku udah bilang kan Yah? Nggak semudah itu.”

Tapi kamu beneran sudah bilang ke Arka untuk datang kerumah kan?”

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang