Bian melajukan mobilnya kembali, setelah baru saja dia pulang kerumahnya. Badannya belum sempat diistirahatkan, bahkan bajunya belum sempat dia ganti. Tapi hatinya sudah mendesak agar segera mencari anak kandungnya yang tidak dia ketahui keberadaannya sampai saat ini.
Dalam perjalanan, sedari tadi dia mencoba menghubungi Arya, tapi nihil. Arya tidak menjawab sama sekali sekian panggilan teleponnya.
Padahal kondisi sedang genting-gentingnya, tapi malah adiknya itu begitu sulit untuk dihubungi. Hal itu membuat Bian merasa kesal rupanya. Tapi, benarkah perasaannya kali ini? Tidak, bahkan Bian tidak berhak memarahi atau menyalahkan orang lain, Salahkan saja dirinya sendiri. Kenapa tidak menyadari informasi sepenting itu sedari awal.
Pemikiran saling bertentangan itu membuat Bian pusing sendiri. Bahkan dia melempar ponselnya sembarang hingga membentur dashboard mobil dan terjatuh dibawah sana, tidak peduli ponsel itu akan pecah, hancur atau sebagainya.
Setelah sampai di parkiran dimana apartemen Arya berada Bian bergegas turun menuju lokasi tempat tinggal adiknya. Dengan menahan emosi dia mengetuk pintu. Beruntunglah Arya segera membuka, kalau tidak mungkin Bian akan menendang pintu itu hingga hancur agar Arya dapat ditemuinya.
Arya keluar dengan keadaan yang masih segar, seperti dia memang masih terjaga dari tidur meskipun ini sudah hampir larut malam.
Tanpa ada ekspresi kaget dengan kedatangan Bian yang tiba-tiba, dia membuka pintu dan berdiri saja disana. Tidak ada niatan mengajak kakak kandungnya itu masuk barang sesenti saja kedalam tempat tinggalnya.
Mata Arya memindai sosok Bian yang ada didepannya. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, mungkin itu kebiasaan Arya, bahkan dia juga melakukan hal yang sama pada Fachrel tadi. Nampak jelas Dimata Arya raut khawatir, gelisah, marah dan sendu yang tercipta diwajah Bian hingga terlukis ekspresi kacau ditunjukkan.
"Kenapa Mas?" Tanya Arya dengan datarnya.
Bian terdiam sejenak, rasanya malu untuk mengatakan bahwa Fachrel pergi, tapi dia selalu orang tuanya bahkan dia tidak tahu kemana perginya bocah itu.
Bian tertunduk, menghembuskan nafasnya kasar dan meraup wajah frustasinya, menekan sekian perasaan yang ada untuk menjawab pertanyaan Arya.
"Fachrel pergi dari rumah, Ya."
Bukannya mendapatkan tanggapan terkejut, atau sedih dan khawatir, Arya justru kembali bertanya dengan nada yang tidak bersahabat.
"Terus?"
Mendengar itu, Bian semakin tidak bisa mengendalikan emosi, bagaimana dia bisa setenang itu mendengar perginya Fachrel? Apa Arya bahkan tidak lagi peduli dengan keponakannya?
"Terus katamu?! Ya aku khawatir, Ya! Aku kesal dan khawatir, bagaimana kamu bisa berbicara se-enteng itu. Ini keponakan mu minggat, Ya!"
Arya menarik nafas dalam-dalam, sesekali menoleh kebelakang takut-takut suara keras Bian membangunkan bocah yang baru saja terlelap disana.
"Sebentar."
Akhirnya, Arya memilih masuk sebentar tanpa mempersilahkan Bian ikut masuk dibelakangnya. Dia segera menyahut dompet dan jaket miliknya diatas sofa. Lalu kembali menemui Bian yang masih berdiri didepan pintu sana.
"Kita cari dulu." ajak Arya.
Bian hanya membuntuti Arya. Karena sungguh, kendati dia adalah ayah dari Seorang Fachrel, tapi bahkan dia tidak mengetahui siapa-siapa saja teman Fachrel atau orang-orang yang dekat dengan anaknya. Selain Arya sebagai paman dari Fachrel.
Sedangkan Arya, dia sengaja menutupi bahwa Fachrel ada disana sekarang. Malah menjauhkan Bian dari anaknya sendiri. Sebab dia ingin berbicara empat mata dengan Bian, sebelum melepaskan Fachrel nantinya, karena bagaimanapun lama-kelamaan keberadaan Fachrel pasti akan ditemukan oleh Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
General FictionHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.