07. Their Intreaction

5 1 0
                                    

Bantu koreksi typo🙆🏻‍♀️

HAPPY READING!

Perang dingin dengan Iden cukup menyulitkan, mereka menjadi miss komunikasi

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.


Perang dingin dengan Iden cukup menyulitkan, mereka menjadi miss komunikasi. Selain terlibat kelompok di salah satu mata kuliah, keduanya juga memiliki projek event dari sang pembina tempo hari. Kini, lelaki tersebut tengah membereskan buku. Setelah mata kuliah berakhir nyatanya Rai masih enggan meninggalkan kelas. Dilihatnya arloji yang melingkar di pergelangan kiri, di sana menunjukkan pukul 13.00 WIB.

Rai hampir melewatkan jam makan siang.

Ia sedang menunggu Iden yang akan membahas mengenai projek tersebut bersama Noah—yang barusan pamit untuk membeli makan siang.

Rai bangkit, laki-laki tersebut mendadak skeptis. Ia mondar-mandir memikirkan kiranya kalimata apa yang akan ia ucapkan pertama kali ketika Iden sampai di sana. Jujur, Rai memang bukan orang yang akan memulai pembicaraan terlebih dahulu.

Meski dirinya tahu—seharusnya lelaki itu cukup mengatakan permintaan maaf, bukan. Namun, rasanya tidak mudah.

Brak!

Tiba-tiba saja pintu kelas didobrak seseorang, kali ini Rai sungguh tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Terlebih saat ia berbalik badan dan mengetahui si pelaku yang menahan pekikan untuk tidak mengumpat.

“Kak No ... anji—ups!”

Rai mengusap-usap dadanya sembari memejamkan mata, Milly hampir membuat dirinya sport jantung.

“Kak Noah-nya ... ada?” tanya gadis itu seraya memasang senyum canggung.

Alis Rai menukik, menatap sang adik tingkat datar lantaran pertanyaan tersebut. “Bocil matanya kalah sama yang udah sepuh, ya?”

Rai menelisik ekspresi Milly, walau melihatnya secara dekat, ia masih tidak bisa mendeteksi apa yang tengah gadis pendek itu rasakan setiap keduanya bertemu. Lagi pula, mengapa Rai mesti memusingkan hal itu? Sibuk bergulat dengan pikirannya hingga tanpa permisi Milly pun berniat untuk pergi.

“Bocil!” Rai sedikit memberikan penekanan dalam kalimatnya—memanggil si perempuan.

Lagi, Milly kembali melayangkan tatapan penuh keberanian setelah berbalik badan dan mengikuti interuksinya untuk mendekat.

“Apa?”

“Apa?” Bibir plum milik Rai mengulas senyum tipis, meniru gaya bicara Milly. “Mau minta tanda tangan? Sini, umpung saya masih jadi manusia, dan menolong sesama makhluk hidup, ya, udah sepatutnya,” imbuhnya sambil melirik sekilas ke arah buku bersampul biru muda yang dibawa oleh sang gadis.

Kerutan mulus tercetak di dahi Milly. “Hah? Eng—”

Sebelum mendengar protes dari Milly dengan gesit Rai menarik buku tersebut. Lalu, membubuhkan tanda tangan pada space yang masih kosong di atas kertas putih itu. Rai merasa senang melihat Milly yang hanya menghela napas kesal dengan mengepalkan kedua tangannya.

Algoritma CintaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt