16. Ego Ibu

257 30 6
                                    

Seperti biasa, mari kita mulai dengan membaca mantra ajaib ini!

Cara baca mantra: Di baca lhooo! Ini sajen di cerita ini soalnya, oke?

Sajen buat diri kita juga? Percaya sama kekuatan kalimat-kalimat baik?

Pejamkan mata mu, ambil nafas dalam-dalam lalu katakan hal-hal baik.

"Tuhan, aku bahagia. Aku bersyukur dengan keadaaan ku. Aku cantik, aku hebat, aku mencintai diriku. Aku bisa menggapai mimpi ku!"

***

Lita POV

Kupikir menceritakan tentang apa yang terjadi hari ini pada Ibu akan menyenangkan. Aku bersemangat untuk pulang dan mengabarkan bahwa kini aku sudah tidak pengangguran.

Bahkan wajahku berseri-seri melihat Ibu duduk di depan televisi. Aku tidak menahan diri untuk tak melejit ke sisinya. "Ibu, Lita diterima kerja!"

Aku menangkap kilat kaget di matanya, tubuhnya bahkan mulai condong ke arahku setelah aku mendudukkan diri di sofa yang sama.

"Di mana?" tanya Ibu.

"Di gudang, Bu. Gudang resto gitu."

Kening Ibu berkerut, pertanyaannya sedikit membuatku kecewa. "Gajinya berapa?"

"Gajinya Rp. 172.000 perhari, Lita dibayar jika masuk aja. Kalo nggak masuk—"

"Nggak dibayar?" sela Ibu.

Aku mengangguk kecil.

"Kok gitu sih, Ta? Emang nggak bisa nyari kerja lain lagi? Gaji segitu kecil, Ta. Apalagi kerjanya nggak nentu, kamu pasti bakal kerja kalau barang mereka sedang banyak saja." ucap Ibu, tak salah sama sekali. "Itu tuh kerjaannya anaknya Bu Wina, dia tuh anaknya kerja kalau dipanggil doang!"

Aku rasa hal kecil ini patut untuk disyukuri. Aku mau membuka mulut, namun Ibu kembali berbicara.

"Emang nggak bisa nyari kerjaan yang lebih baik? Di kantor gitu, biar jadi karyawan. Kalau kamu diangkat Kartap kan bagus."

"Daripada Lita nganggur, Bu." aku menjawab tak tahan. "Ini juga udah alhamdulilah banget. Kerja kantor sekarang susah buat anak lulusan SMA kayak Lita."

Ibu mendengus. "Salah kamu disuruh kuliah nggak mau. Malah nolak beasiswa juga! Sekarang susah kan nyari kerja."

Mengingat hal itu, aku menjadi kesal tapi seperti biasanya, aku mengubur dalam-dalam perasaanku.

"Kalo buat sementara ya nggak apa-apa. Daripada kamu di rumah terus nggak ngapa-ngapain, sumpek Ibu liatnya."

Emosi bahagiaku lenyap, aku memang tak boleh berekspektasi tinggi jika tak ingin terluka. Dengan senyum yang dipaksakan, aku pamit dengan alasan bersih-bersih.

Ketika berjalan, aku masih sempat mendengar Ibu bergumam; "Emang nggak bisa diharapkan punya anak kayak Lita mah." 

Deg

Kalimat itu entah mengapa rasanya amat menusuk di hati. Aku tertunduk dengan setetes air mata yang mulai berulah lagi.

Segitu mengecewakannya kah diriku?

Pertanyaan dan kata-kata itu terus bercokol dalam kepala hingga aku memasuki kamar. Rasanya aku ingin berteriak pada takdir yang tak adil memberiku hidup.

Mengapa aku tidak secantik Gesya?

Kenapa aku tidak sesukses Mas Riyan?

Aku telah gagal dalam banyak hal, kini bertambah satu sebagai anak. Ibu mungkin mengharapkanku bisa sehebat Mas Riyan dan Gesya. Apa Ibu menyesal karena aku mungkin tidak pernah menjadi anak seperti yang dia doakan?

Jelek Itu LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang