24-Kisah Lalu

15 6 1
                                    

Dengan wajah merunduk, tak henti ku langkahkan kakiku membuntutinya.
Hingga sampai satu per satu anak tangga berhasil terlewati, aku bisa merasakan irama jantungku yang berubah abnormal saat hentakan kakinya berhenti begitu saja.

"Ckkk mengapa aku bisa melupakannya."

Meski suara itu berbaur dengan desis bibirnya. Namun, aku bisa mendapati jelas kekesalan di dalamnya.

Tubuhnya yang sudah berputar menatapku, membuat tanganku kini semakin mengepal kuat.

"Sepertinya aku melupakan ponselku di mobil."

Sembari menggigit bibir, aku bisa merasakan hawa dingin yang mulai menjalar cepat di tubuhku seiring langkahnya menghampiriku.

Seakan menjadikan ketegangan tubuhku berada di atas rata-rata. Bahkan, untuk sekedar menggerakkannya saja, aku tak begitu mampu. Hingga kini, saat jarak kami hanya menyisakan sepuluh centi, aku bisa merasakan deru nafasnya yang kian menerpa wajahku.

"Aku tinggal sendiri tidak apa bukan?"

Masih dengan merundukkan wajah, tanganku sudah berganti meremas kuat gamis maron ku. Meski aku sudah memiliki keterikatan dengannya. Tak memungkiri, dengan tempat ini yang masih terlalu asing bagiku, membuat gugup itu bak menyelimutiku.

"I... iya, Mas."

Untuk sesaat hanya ada keheningan yang melanda. Namun, meski begitu, entah mengapa aku merasa jika tatapan intens itu masih tak lepas memandangku. Hingga tak lama, aku bisa merasakan sentuhan tangannya mengusap puncak kepalaku.

"Setelah mendapatkannya aku akan kembali."

***

Sembari mengucap basmalah, tanganku sudah bersiap meraih knop pintu. Hingga setelah daun pintu itu berhasil terbuka. Perlahan, aku memberanikan diri melangkahkan kakiku memasukinya.

Tak lupa jua mengucapkan salam. Kini, langkahku berakhir terhenti sudah, saat sambutan hawa dingin kian menusuk sel-sel tubuhku.

Dan benar saja. Terlihat di bagian ujung posisiku nampak dua AC begitu asyik bekerja. Membuatku semakin berpikir, apakah sang pemilik lupa mematikannya? atau memang karena kesengajaannya? Tapi, sejak kapan?

Tak ingin mempedulikannya, tatapanku kini sudah berganti pada rak mini juga satu sofa disampingnya. Seakan memiliki daya magnet. Bahkan, aku tak bisa menolak saat pergerakan kakiku menuntun tubuhku mendekatinya.

Dengan tangan kiri yang sudah menyentuh ragu sisi rak. Tak henti, ku gerakkan netra cokelatku menyapu deret buku yang nampak renggang karena sekatan pada bagian masingnya.

Kini, helaan nafas kasar berakhir keluar dari mulutku. Bagaimana tidak, dalam tiga susun rak buku tidak lebih di dominasi tentang ilmu kedokteran juga kesehatan. Sementara untuk sisanya, tidak lain mengenai ensiklopedia islam. Itu pun masih dapat ku hitung dengan jari.

Menggeleng pelan, aku memilih mengalihkan netra cokelatku mengamati sekeliling. Ukuran kamar yang begitu besar, namun hanya terdapat sedikit barang. Bahkan, hiasan dinding pun tak terlihat terpajang.

Hanya terdapat jam kayu yang menempel di sisi tembok menuju kamar mandi, dan juga—

Dengan mata yang berubah menyipit, aku berusaha memperjelas pandanganku, saat mendapati sebuah benda persegi yang terpampang di bagian belakang sofa. Tunggu, mengapa aku baru menyadarinya?

Berusaha menahan gemuruh kencang. Perlahan, ku langkahkan kakiku menghampirinya.

Menatapnya lamat. Tanganku kini sudah terulur mengusapnya pelan. Dengan gaun putih juga jilbab senada, terlihat wajah itu nampak begitu anggun dilengkapi mahkota di kepalanya. Tak hanya itu, beberapa pernak-pernik pun tak lupa menghiasi bagian bawah dada. Menjadikannya lebih terlihat seperti putri dalam negeri dongeng.

Pernah Patah Where stories live. Discover now