41-Yogya Bercerita(2)

13 2 0
                                    

Dengan pandangan yang masih setia menatap lurus, mengarah tembok. Tubuhku kian sudah dibuat bersandar pada kepala ranjang. Bahkan, karena sedikit tamparan keras yang diberikan Mbak Liya. Menjadikan kalimat itu bagai roda yang terus berputar di kepalaku.

Aku sangat tahu, jika dengan membiarkan keraguan itu, hanya akan memperdalam dosaku. Tapi, Allah... sungguh aku pun tak bisa membohongi akan ketakutan takdir itu benar adanya.

Terlebih, mengingat sikap dokter Nadia yang juga masih tak menyerah. Sungguh, aku tak begitu ingin, jika dalam menjadikannya tempat berlabuh justru berakhir membuatku patah.

Ceklekk

Seakan menjadikan lamunanku kian dibuat membuyar begitu saja. Kini, tatapanku bahkan tak segan beralih mengarah sumber suara.

Dan benar saja. Dengan bibir yang melengkung. Terlihat, tubuhnya sudah berdiri diambang pintu dengan posisi tangan kanan masih mencengkram pada bagian knop.

Menyadari jenjang kakinya kian melangkah semakin dekat. Membuatku lantas menggerakkan tubuhku. Memposisikannya terduduk dipinggiran ranjang dengan kaki dibiarkan menggantung. Hingga bersamaan dengan tubuhnya yang dibuat mendarat disampingku. Tak segan, aku pun merundukkan wajahku.

"Belum tidur?"

Menggeleng pelan. Tanganku kini sudah meremas kuat gamisku. Meski dua bulan sudah bersamanya. Tak bisa memungkiri, untuk jantungku selalu bergemuruh kencang saat berada di dekatnya.

"Kay tidak mengantuk, Mas."

Sedikit tersentak. Bahkan, tubuhku berakhir sudah dibuat menegang saat sesuatu hangat kian meraih daguku. Menuntunnya untuk lebih sejajar.

"Ikut aku, mau?"

Menelan saliva kasar. Tanganku kian berganti mengepal kuat. Berusaha menahan gemuruh kencang.

"Ke... kemana Mas?"

Dan lagi. Bukannya membalas perkataanku. Tubuhnya kini justru dibuat bangkit dengan tangan yang terulur meraih tanganku. Menggenggamnya erat.

"Ayo."

💔💔💔

Berulangkali mengerjap. Bahkan, netraku kini sudah berbinar indah. Meski sempat dibuat menggerutu, karena pasalnya Davin pun tak memberitahuku akan tujuannya membawaku. Namun, tak menutup kemungkinan untuk kadar bahagia itu mendominasiku.

Dengan bantuan para bintang. Terlihat, sang rembulan terpancar indah di bentang cakrawala. Bahkan, karena temaramnya, mengingat tiada cahaya lampu. Menjadikan pantulannya kian terkesan hidup di atas ombak yang menggulung.

Selain terhitung sudah sangat lama tak mengunjungi pantai. Tak bisa memungkiri, jika momen demikian baru kembali aku merasakannya setelah kali terakhir aku menikmatinya bersama Bang Rafka.

Dan lagi. Karena begitu bahagianya. Membuatku kini tak menyadari, jika tanganku masih dalam genggamannya yang erat.

"Kita duduk disana ya?"

Masih dengan sudut bibir yang terangkat. Tatapanku kian sudah beralih, mengikuti arah jari telunjuk kanannya. Hingga mendapati objek yang ditujunya tak lain salah satu batu karang. Membuatku tanpa ragu mengangguk cepat.

Sementara ditengah semilir angin yang berhembus kencang. Aku bisa merasakan genggamannya menuntun langkahku. Menjadikan tubuhku setelahnya tak segan ikut jua berakhir terduduk disampingnya.

Untuk sesaat hanya ada keheningan yang melanda. Bahkan, karena begitu menikmati keindahannya, tak henti bibirku melengkung tipis. Hingga berakhir dengan bayang perkataannya yang bagai slide dalam lebar. Membuat senyumku pun perlahan mengendur.

Pernah Patah Where stories live. Discover now