Raya Janari Bagi Tama, Seperti Apa?

369 75 20
                                    

     Hidupnya. Belahan jiwanya. Atau bahkan Tama berani berbicara seperti, "Kalau Raya  ternyata bukan jodoh gue, dan gue telat ketemu pas dia udah menikah dengan orang lain, gue bakalan jadi perjaka tua aja."

     Jeremy menyebutnya gila. Dalam pandangan dia; Tama sudah sangat jatuh hati pada Raya. Seberapa besar masalah yang dihadapi oleh pasangan Suami-Istri itu, tetap akan selesai dengan situasi yang tidak membebankan dan cenderung damai tentram.

     Bukan secara gamblang ia berucap. Ia mengambil contoh seperti sekarang. "Lo anjing banget, ya. Kemarin aja nyusahin gue, sekarang ngajak gue ke café cuman buat pamer kalau udah baikan? Labil."

     Mengedikan kedua bahu nya atas pernyataan Jeremy. Sosok Tama, dengan kaos hitam dan bawahan celana berbahan dasar linen dari John & Fred, memiringkan kepala pada sisi kanan dengan netra hitam dan raut wajah berkeletah. "Tapi lo harusnya berbahagia. Gue sama Raya udah baikan. Gue bahkan berencana buat ngajak Raya honeymoon. Chile kayaknya oke deh, atau ke Spain, ya." Balasnya dengan di akhiri gaya menepuk pipi dengan jari telunjuk kanan dan pandangan pada langit-langit remang.

     Merotasikan bola matanya malas atas tingkah Tama. Jeremy memfokuskan kembali kegiatan memotong beef steak dengan kematangan medium rare. Sial bagi Jeremy menghantui, karena ocehan Tama kembali memasuki relung telinga nya.

     "Jer, lo denger gue, kan." Mendapati sosok Tama yang tengah menegak kopi panas Liberika dengan netra hitam memandang pada sosoknya. Jeremy mengangkat alis kanan nya sebagai jawaban. Sepersekon detik setelahnya ia menjawab,

     "Ya, syukur deh lo berdua udah baikan. Raya juga gak terlalu stress buat nanganin kasus di Noémie. Syuting film dan music video lo juga udah kelar kan, ya." Jeda sebentar, memasukkan potongan daging sapi panggang pada rongga mulut nya dengan garpu stainless. Dengan kegiatan yang masih mengenyam, ia kembali berujar. "Jangan biasa-in kayak gitu, Kam. Gak apa-apa kalau misal lo pengen atensi Raya berfokus pada, lo. Tapi tahu batasan situasi dan kondisi itu wajib, apalagi lo udah Suami-Istri."

     Menyimpan cangkir kopi pada dasar meja, dimana kedua sikut lengan nya bertumpu. Tama memandangi Jeremy sekilas, sebelum selanjutnya ia menundukan kepala. "Gue juga nyadar kok, Jer. Kemarin gue terlalu seenaknya."

     "Mungkin karena biasanya Raya yang visit ke luar negara atau kota, dan bukan gue. Jadi berasa beda, gue gak sempat mikir saat marahin dia yang gak bisa ngabarin gue waktu itu." Kekehan ringan keluar, sedikit memperolok dirinya sendiri. "Gue gak insiatif kala itu, padahal se hectic apapun Istri gue, dia pasti tetap ngabarin meski lewat Tazkia atau Sania, bahkan lo sekalipun."

     Menengadahkan kepala yang menunduk itu, ia memungut satu batang nikotin dari Djarum yang dari tadi menyelip pada telinga kirinya. Nikotin itu ia pedarkan pada ke-lima buku jari kiri, sebelum kembali bersuara. "Gimana ya, Jer. Bahkan saking frustasi nya gue karena denger penuturan Deka selama nunggu take off , gue diem-diem bermonolog."

     "Monolog gimana?" Dengan satu alis timbul satu, Jeremy bertanya.

     Memantikkan sebuah api dari benda kotak bernama Zippo, membiarkan ujung nikotin itu terbakar sebelum ia letakan pada bilah bibir. Lekas gumpalan asap melebur keluar dalam hidung bahkan mulut saat Tama menghembuskan nafasnya. "Monolog kayak, kenapa Raya mau sama gue, ya? Padahal masih banyak yang lebih bisa treat dia lebih baik dibandingkan gue. Kenapa ya dia bisa bener-bener kunci hati bahkan raga gue di dia. Lo tahu sendiri, gue pernah punya pacar sebelumnya. Dan gak begini yang gue rasain tuh." Ia sedikitnya menjeda penuturan.

     "Lo tahu kan, Jer. Tiap beberapa bulan keluarga gue selalu ada renungan pagi, di akhir bulan hari weekend. Papa bilang disitu bahwa, pernikahan adalah laksana lembah yang penuh akan misteri. Kalau kamu gak punya nyali, jangan berani menikah, karena kamu akan kehilangan kendali." Lanjutnya.

MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang