Perbudakan Liar di Tanah Rinjani (1)

44 23 2
                                    

Kota Bogor, kota yang selalu dijadikan sebagai tempat untuk menghabiskan waktu liburan bagi warga Ibukota. Selain jaraknya yang tidak memakan waktu lama dijalan, Bogor pun semakin gencar memberikan banyaknya wisata dan cafe untuk siapapun yang berkunjung di kota ini.

Namun, hal ini tidak berlaku pada Dewi. Dirinya terus memandangi pemandangan lampu-lampu kota Bogor saat malam hari. Menikmati secangkir kopi di sebuah cafe yang terletak di atas area Puncak, membuat hatinya sedikit tenang. Tapi, bukan Dewi namanya jika tidak membawa dokumen penting di dalam tasnya. Ketika Juna, Aldy, Laura, dan Dirga menikmati suguhan cafe, Dewi fokus memeriksa dokumen bersampulkan hitam yang berhasil diambilnya dari tangan Razak.

"Dokumen ini jelas sangat rancu. Padahal, Kak Andrean bilang kalau dokumen ini satu-satunya yang menjadi kunci utama untuk mengetahui dalang sebenarnya di balik tragedi enam tahun lalu, dan juga kejahatan-kejahatan ilegal lainnya yang belum terungkap."

Dirga berjalan menghampiri Dewi sambil membawakan sepiring cemilan, lalu duduk di samping Dewi.

"Dewi, ini cemilannya. Makananmu sudah dingin, apa mau diganti?" Tanya Dirga basa-basi.

"Tidak usah. Biarkan saja seperti itu. Terimakasih sudah membawakan saya cemilan."

Sulit sekali untuk mengobrol bersama Dewi. Masalahnya, gadis itu ketika sudah fokus pada kegiatannya, tidak akan mau untuk membahas hal lain. Membuat Dirga hanya mampu terdiam. Menunggu garis itu memulai pembicaraan, hingga pada akhirnya Juna, Aldy, dan Laura menghampiri meja Dewi.

"Lagi pada ngomongin apa nih? Serius bener." Aldy langsung mengambil satu buah sosis dan memakannya.

"Ibu bawa dokumen itu terus. Ada apaan emang isinya?" Juna penasaran karena setelah misi di Aceh selesai, Dewi selalu membawa dokumen itu kemanapun. Bahkan di markas besar TNI pun juga, hanya saja jika di markas tidak dibuka oleh Dewi.

"Kalau kalian mau kembali ke markas silahkan. Saya ingin pergi ke suatu tempat." Tiba-tiba Dewi beranjak dari kursinya sambil memakai jaket tebal lalu menyuruh tim Patriot agar pulang ke markas tanpa dirinya. Dewi masih penasaran dengan 'tempat' itu. Mungkin ia bisa menemukan hal penting lainnya.

***

Garis polisi masih bertengger di villa milik Aji. Dewi kembali melihat villa mewah tersebut yang di bangun tidak jauh dari pemukiman warga. Dirinya lantas berjalan memasuki kediaman Aji melalui pintu belakang. Untung saja kendaraan sepeda motornya ia parkirkan dekat warung makan di depan gapura perumahan.

Terlihat jelas tidak ada ketakutan ketika kedua kakinya kembali memasuki villa dan berdiri di ruang tamu. Dimana ruang tersebut menjadi saksi atas kematian Aji. Namun, bekas bercak darah Aji sudah menghilang. Pertanda, villa ini belum lama dibersihkan. Mungkin oleh petugas penyidik atau orang suruhan dari pihak kepolisian.

***

Setelah dari ruang tamu, Dewi langsung menuju ruang bawah tanah. Ruang yang menjadi saksi atas kebiadaban Aji semasa hidup. Tega menculik anak remaja untuk dibunuhnya dan menjual-belikan organ mereka. Sungguh ironis.

Lantas, kedua matanya melihat ke sekeliling tempat pembantaian para korban. Ternyata pihak kepolisian sama sekali tidak memeriksa ruang bawah tanah milik Aji. Tergambar jelas dalam ingatan Dewi mengenai ruang bawah tanah yang berantakan akibat perkelahian melawan Aji dan Icung. Bahkan, bercak darah dari telapak tangan kiri Icung yang dipotongnya masih berbekas.

"Saya kembali ke villa Aji. Ada sesuatu yang harus saya cari." Suara Dewi membuat Aldy, tim Patriot dan Bu Tari terkejut. Gadis itu tidak memberitahu mereka sama sekali.

Patriot Garuda: 17.8.17 [Darah Sang Jenderal] [End] ✅️Where stories live. Discover now