05

1.4K 200 7
                                    

Menjelang hari pernikahan Yang Mulia Raja dan Tuan Putri Nagi, Istana mengadakan berbagai acara guna mengakrabkan dua belah pihak keluarga.

Salah satunya seperti pagi ini, Sae menggelar acara panahan bagi Pangeran Rin dan Pangeran Nagi.

Keduanya berdiri bersebelahan dengan jarak yang cukup lebar. Meski hanya pertandingan persahabatan, dua pangeran yang sudah berselisih dari hari pertama menganggap acara panahan ini layaknya medan perang.

Dari kerjauhan di barisan para pelayan, Isagi juga turut menonton bersama Bachira. Kedua pangeran yang sama-sama hebat dalam memanah itu membuatnya kagum.

Rin pun berancang menarik anak panah, namun sebelum melontarkannya, sekilas netranya melirik ke arah Isagi di samping. Ia melihat lelaki biru itu memandangnya lebar dengan bibir plum yang sedikit terbuka.

Tak ingin menyiakan kesempatan, Rin melesatkkan bidikkannya yang sempurna mengenai sasaran. Ia kembali melihat pada Isagi. Kali ini si biru terlihat girang seraya bertepuk tangan kecil.

Sebongkah senyum samar merekah pada wajah tampan sang pangeran bungsu Itoshi. Ada rasa bangga yang menggebu melihat Isaginya terkagum-kagum.

Nagi hanya menghela napas. Berapa lama lagi ia harus melalukan panahan payah yang sangat tidak menarik ini.

Sesuai arahan, setelah batang kayu maka selanjutnya seorang pelayan dengan apel di atas kepala menjadi penentu. Keahlian memanah dua pangeran yang tidak diragukan lagi presisi dan kehebatannya membuat yang Sae percaya bahwa menggunakan pelayan akan seru dan tetap aman.

Burung berterbangan di langit dengan tergesa. Suasana kelabu penanda akan turunnya hujan membuat mereka begitu.

Netra Rin melebar melihat Isagi yang terpilih untuk menjadi penyangga apel. Lelaki itu menaruh apel merah di atas kepala.

Nagi menjadi orang pertama yang berkesempatan memanah. Pemuda itu menarik busur dan bersiap.

Sebelah matanya terutup guna memfokuskan titik sasaran. Angin yang mendadak kencang membuat panah sedikit bergoyang.

Isagi membuka matanya, ragu bila mana panahan itu meleset ia akan berusaha menghindar.

Srett

Jleb

Buah apel di atas kepala Isagi terjatuh. Pangeran Nagi berhasil mengenai sasaran dengan tepat membuat seluruh istana bertepuk tangan. Begitu juga dengan Isagi yang bernapas lega.

Kini giliran Rin. Pangeran bungsu itu mengangkat busur dan bersiap. Ia menatap Isagi yang menutup mata membuatnya terdiam.

Lelaki biru itu percaya kalau Rin akan mengenai apel tepat sasaran, ia percaya Rin tidak akan meleset karena itu matanya terpejam.

Rin menarik anak panah, namun seekor burung di langit mengacaukan arah busur Rin hingga membuatnya terlontar.

Jleb

"Ahk!" Bahu kanan Isagi tersambar anak panah membuatnya seketika terhuyung jatuh kesakitan. Matanya terbuka melelehkan air mata dan rintihan.

Semua orang dibuat terkejut dan melebarkan mata. Baik Rin dan Nagi ingin berlari, namun Rin lebih dulu mengibaskan tangannya membuat Nagi terdorong. "Yoichi!" Ia berlari ke arah Isagi sedang Nagi tidak jadi jadi berlari.

"Ahk..ssh.." Isagi merasa ngilu dan perih, sesaat tubuhnya terangkat dari permukaan tanah. Pangeran Rin menggendongnya, membawanya pergi diikuti beberapa pelayan lain dan tabib.

.
.
.

"Kenapa Yoichi belum sadarkan diri?!" Rin berdiri dengan murka di depan para tabib.

"Yang Mulia, anak panah anda mengandung racun—"

Grep

Rin mencekik tabib lalu mengangkat hingga kakinya tak menyentuh tanah. "Kau pikir aku bodoh?! Aku tidak mungkin menggunakan panah beracun untuk sebuah acara konyol!!"

"Gghh.. T-tapi memang begitu adanya Yang mulia.. Racun itu sedang menyebar.. Kami harus cepat melakukan tindakan."

Rin melepas cengkramannya. "Kalau begitu lakukan!! Kalau Yoichi sampai mati, aku akan memenggal kepala kalian semua yang ada di sini!!"

Prankkk prnkk

Rin menghempas semua perkakas emas di kamarnya sebelum keluar. Para tabib dan pelayan semakin menciut takut. Dengan cepat mereka kembali meramu obat dan ramuan untuk Isagi yang masih pucat di atas ranjang.

"Dia memang pangeran yang egois.. Menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri.."

"Kalau bukan karena dia yang payah dalam memanah, Isagi tidak akan begini, dan kita tidak akan ditindas.."

Para tabib dan pelayan berbisik-bisik dalam ketakutan dan rasa kesal.

.
.
.

"Niisan! Aku mengenai apel tepat sasaran!!" Rin kecil terlihat sumringah sembari menatap sang kakak penuh binar.

"DIAM! Kau pikir aku buta?! Aku juga bisa melihatnya! Itu cuman satu buah apel, tidak usah berlebihan!" Sae menyentak dengan ekspresi tak suka.

"Niisan.."

"Apa?! Kau berani coba-coba nenyaingiku? Aku adalah putra mahkota! Kalau kau berani mencoba bersaing denganku, akan kupatahkan panahanmu itu!!"

Rin kecil terdiam. Ia pun melempar busurnya dan pergi dari lapangan dengan menangis.

.
.
.

"Yoichi.."

Tengah malam saat semua tabib dan pelayan telah keluar dari kamarnya, Rin masuk dan menghampiri tubuh Isagi di ranjangnya dengan mabuk.

Si lelaki biru masih terlihat pucat bahkan bekas panah di pundaknya juga membiru. Rin menyelipkan jarinya ke sela jari-jari Isagi sembari berbaring di sampingnya.

"Aku memperlakukanmu dengan sangat buruk, iya kan?"

Rin menatap wajah Isagi yang lelap.

"Aku membuatmu hampir mati di banyak kejadian. Termasuk saat ini. Aku tidak tahu apa kau akan sekali lagi bertahan atau justru menyerah untuk berada di sisiku."

Rin mendekkatkan wajahnya, meletakkan dagunya pada pundak Isagi yang tidak terluka lalu memeluk tubuh kecil itu dari samping dengan erat.

"Itu menyakitiku setiap kali aku membuatmu terluka. Tapi entah kenapa aku tetap tidak bisa berhenti.. Rasanya seperti ironi. Aku selalu penasaran jika kehilanganmu dapat membuatku jadi lebih baik? Meskipun begitu, aku tidak pernah ingin mencobanya."

Until Last Sakura Falls (Rnis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang