Chapter 04

202 28 15
                                    

Jieun menyadari bahwa Jungkook akan bersikap dingin jika ada orang lain yang berada di sekitar keduanya, terutama Lisie dan kelompoknya. Hal itu memang baru terjadi dua kali sejak pertemuan mereka, tapi Jieun yakin dengan hal itu. Ketika mereka hanya berdua dan tidak ada orang lain yang memperhatikan, wajah Jungkook sangat ramah dan cerah. Malahan tampak teduh dan manis.

Mungkin Jungkook punya alasan tertentu, Jieun tidak ingin menebak-nebak atau sok tahu.

Ia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan tepat, lalu beralih menatap kertasnya yang masih kosong. Ia akan tidur tengah malam nanti, jadi ia ingin mengerjakan beberapa tugasnya.

Lirik apa yang harus ia tulis?

Ia mencoba mengingat-ingat puisi yang pernah ia baca, tapi sepertinya tidak ada yang menarik untuk dijadikan inspirasi lagu duet. Mungkin ia bisa menulis lirik dari pengalaman hidupnya saja?

'Rona merah pada wajahnya telah menghilang bersama musim gugur. Beku. Musim dingin membawa pergi segala kehangatan yang mendekap tubuhnya.
Ada kalanya ia berpikir kalau kematian jauh lebih baik, tapi sepasang tangan itu masih menahannya.
Bunga mawar mekar dengan indah, harum semerbak, tapi duri-durinya menusuk jiwanya.
Semesta merenggut segalanya. Perasaannya diputus paksa oleh benang takdir.
Cinta tak sampai.
Luka menganga melibas habis segala kebahagiaannya.
Kenangan menguap dan lambat laun menghilang dari pikirannya.
Dia datang padanya, hanya untuk mengucap selamat tinggal.
Hari berlalu dengan abu-abu. Langit mendung menjadi teman baiknya.
Dia terjebak dalam jurang gelap dan bulan bahkan enggan memberi sedikit cahaya-'

Jieun menatap tulisannya dan menggeleng-geleng. Bukankah ini terlalu berlebihan dan menyedihkan? Ini bukan kisah cinta Romeo-Juliet yang berakhir tragis.

Bahkan ia tidak tahu Jungkook mau menulis apa. Hubungan romantis? Sepertinya bukan. Pertemanan? Lagu motivasi? Perjalanan hidup?

Duet. Mereka akan berduet. Jadi, liriknya harus saling terhubung satu sama lain.

Jieun menopang dagunya di atas meja dan memutar otaknya untuk berpikir. Suasana hening ruang tamu seharusnya bisa membuatnya fokus untuk merangkai kata, tapi ia malah mengingat hari-harinya selama di rumah sakit. Jieun mencoba menulis beberapa kata di kertas baru.

'Nyala api menari-nari di matanya.
Ketika dia menatapku, iris rusanya tampak membara.
Aku tidak mengerti apa yang terbersit dalam pikirannya.
Dia penuh enigma.
Dia beraroma seperti absinthe.
Tanpa kata, tanpa suara.
Dia datang padaku, mengebor jauh ke dalam pikiranku.
Kupikir aku akan mati.
Tapi dia dengan cepat mengulurkan tangannya.
Mengeluarkanku dari kubangan lumpur yang kotor.
Harus kupanggil apa?
Penyelamatku?
Temanku?
Kekasihku?
Belahan jiwaku?
Dia adalah yang pertama dan terakhir.
Aku lebih suka tersesat dalam belenggunya, dibanding kembali ke kubangan yang sama.
Presensinya lebih penting dari apa pun.
Aku ingin mencintainya-tapi pantaskah diri ini?

Jieun berhenti menulis dan membaca kembali potongan lirik yang memenuhi kertas. Keningnya berkerut, merasa kalau tulisannya bukan cinta yang romantis dan manis seperti permen kembang gula. Ini lebih seperti ungkapan perasaannya sendiri. Kalau Jungkook membacanya, dia mungkin tidak akan menyukai liriknya.

Jieun menghela napas dan menyingkirkan kertas-kertasnya. Sekali lagi, ia tidak tahu Jungkook mau menulis apa, dia bukan orang yang mudah ditebak. Ia harus bertanya besok dan menulis kembali lirik yang baru.

Beranjak dari tempatnya, Jieun berniat kembali ke kamarnya ketika telepon rumah berdering keras. Ia bergegas menuju ruang tengah dan mengangkat telepon.

Burn the RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang