Sorak sorai mengudara kala kami menampakkan diri di depan para penggemar kami, meski kini terasa begitu ramai, tetapi tetap saja aku diliputi oleh sepi.
Dalam dua minggu terakhir ini, hidupku seakan tak pernah sama lagi. Kelam semakin menenggelamkan diri, begitu pula kerumunan kelabu yang masih setia membombardir relung sanubari.
Aku tak pernah menduga, bagaimana bisa perempuan yang baru aku temui justru dapat memporak-porandakan perasaanku sebegini sakitnya.
Rasa sakit itu menggema, menyeruak ke seluruh panca indra, enggan terurai kendati sukmaku kian memforsir sang daksa.
Seluruh lampu di ruangan kembali menyala, kedua manikku melempar tatap ke seluruh para jiwa, hingga akhirnya netraku berhasil menangkap sosoknya.
Ada Jia, bersama salah seorang teman perempuannya.
Aku tidak bisa memperkirakan perihal ekspresi apa yang 'kan ia pasang kala atensi kami saling bersua, tapi lamat-lamat aku membisikkan satu asa, tolong ... jangan ada air mata.
"Selamat malam semuanya!"
Suaraku membelah riuh yang sedari tadi menusuk rungu, semua perhatian lantas beralih kepada kami, tak terkecuali Jia yang segera menoleh tatkala bahana bernada sapa itu mengetuk telinganya.
Ia menatapku begitu lama, dan tak terasa kedua pipinya telah dialiri oleh air mata.
Aku menyakitinya.
Seorang sampah ini sudah berani menyakiti seseorang yang baginya berharga.
Kini rasanya aku ingin berlari, sebab tidak mampu menyanyikan lagu yang telah dijanjikan 'tuk mengudara di malam ini. Lagu yang mengganggu tiap-tiap menit hampa di hidupku. Lagu yang mengusik kala mimpi hendak membuai diriku. Dan, lagu yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya.
Lagu yang bercerita perihal perasaanku yang sebenarnya kepada Jia, jua tentang lara pula luka yang kian mendera.
"Terima kasih banyak sudah datang, semuanya. Omong-omong sebelum kami menampilkan lagu utama malam ini, Berlari di Malam Hari, ada satu lagu baru yang akan menjadi pembuka acara hari ini, kalian siap?"
Hiruk-pikuk seruan yang didominasi para pemudi lantas merasuk ke dalam sukma, teramat antusias hingga aku pun hampir terbius karenanya. Jika bukan sebab sepasang netra cokelat yang atensinya betah memaku tatap ke arah diriku, aku tidak akan sebegitu tegang dibuatnya.
Ah lagi-lagi tanya berupa fana kembali menyerang, apa Jia akan menyukai lagu yang hendak aku bawakan sekarang? Jika iya, semoga ia dapat mengerti apa yang aku rasakan selama bertemu dengannya.
Aku memasang kembali mikrofon di tangan kananku ke stand mic panjang di depanku, suara bas dari Angga dan Rendra saling bersahut-sahutan seiring tabuhan drum Darrel yang turut bertalu-talu, dentingan not keyboard yang Arsen bawakan pun mampu mengecup hangat ke dalam rungu.
Permainan kami berlima malam ini sangat sempurna. Namun perlahan memunculkan sekelumit ketakutan yang mendebarkan di dada.
Apa aku bisa menyampaikan lagu ini kepadanya?
Malam, selalu ramai seperti adanya
Kita berdua terdiam tanpa kata
Tapi aku tahu di kepalamu tengah bertanya-tanyaAku mulai bernyanyi, bersamaan dengan ruang imajiku yang turut serta memutar sekelebat memori.
Tentang malam. Perihal kami berdua yang sama-sama tenggelam. Juga tentangku yang tak kunjung menemukan tempat bersemayam.
Hei, apa yang sedang kamu pikirkan?
Aku tidak bisa memikirkan hal itu, namun...Suaraku terus menggema memuntahkan semua perasaan yang telah lama bersarang sekian lama, dan rasanya air mataku pun hendak meramaikan suasana, akan tetapi sekarang bukan waktunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Betelgeuse [FIN]
Romance[ACT IV of V Katarsis - Bintang Narandanu] Hidup Bintang Narandanu tak ubahnya mesin pekerja selama dua puluh empat tahun. Hanya berotasi antara Katarsis─band yang ia bangun selama enam tahun─dan berbagai jadwal entertaiment yang mengharuskan diriny...