28- Tidak Sabar dengan Permainannya

97 9 3
                                    

Zeano melambaikan tangannya pada Bram setelah remaja itu mengantarnya dengan selamat sampai depan rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zeano melambaikan tangannya pada Bram setelah remaja itu mengantarnya dengan selamat sampai depan rumah. Tentu saja, Tio serta Bram yang mengecek terlebih dulu keadaan di rumah itu untuk memastikan aman apa tidaknya.

Bram membalas lambaiannya, lalu pelan-pelan ia mulai meninggalkan rumah Zeano. Sedikit tersenyum dan berharap semoga Renza tak lagi memukul anak itu.

Aman apa tidaknya itu memang hanya dipastikan dari luarnya. Karena nyatanya, Renza di sana, berdiri dengan tangan kirinya ia senderkan di atas lemari berukuran sebahunya.

"Kamu sudah pulang, Nak?"

Tunggu, sejak kapan Renza berubah?

Renza mendekati anak itu, Zeano yang sadar memilih mundur hingga mentok pada tembok rumahnya. Anak itu ketakutan, detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, bahkan keringatnya menetes membasahi hampir satu tubuhnya.

"Apa ... Ano ketakutan?"

Ano, panggilan semasa kecilnya. Renza menyebutnya dengan panggilan itu, sedikit membuat Zeano hampir menangis mengingat betapa manjanya ia sebagai anak bungsu keluarga kecilnya.

"Papa minta maaf. Papa tau kamu ketakutan,"

Zeano menggeleng, batinnya terus berucap mengatakan jangan mendekat ketika Papanya sedikit lagi mendekatinya. Tetapi, sepertinya Renza berhasil mendekati anak itu.

Diluar dugaan, Renza menepuk pucuk kepala halus anak bungsunya. "Papa ... benar-benar minta maaf. Papa menyesal sudah melukai tubuhmu."

Saat tangan Papa yang dulu melukainya kini mengelus dengan hangat. Memeluk anak itu tiba-tiba dengan bisikan maaf berulang kali. Zeano luluh, jatuh pada hangatnya sang Ayah kembali.

"Papa sudah membatalkan janji Papa dengan orang asing itu. Papa tidak terima kamu di bunuh mereka, kamu anak Papa, kesayangan Papa."

Ulas senyum Renza terbit setelah melihat anak itu menangis. Tangannya bergerak lagi, menghapus air mata anak itu setelah dirinya memeluknya baru saja.

"Jangan nangis, Papa sakit lihat kamu."

Zeano memastikan bahwa ini mimpi, tak mungkin secepat ini Renzila berubah, bukan? Tetapi, saat memastikan bahwa ini adalah ilusinya, Renza kembali memeluknya.

Kalimat penenang Renza yang berhasil membuat Zeano percaya bahwa ini adalah kenyataannya. Perlahan, tubuh anak itu merosot saat ia merasa bahagia melihat Papanya kembali menyayanginya.

Papanya sudah kembali, tidak lagi menjadi monster yang ia takutkan selama di rumah ini.

"Papa ... Zeano rindu Papa yang seperti ini."

﹏﹏﹏

"Bagaimana? Zeano aman kan di rumah?"

Tio langsung menyambutnya dengan pertanyaan, Bram yang baru saja ingin duduk itu terhenti saat Tio tak memberinya izin duduk sebelum menjawab.

Zeano dan Mimpinya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang