Bab 14. Dimanja [The End]

313 57 6
                                    

Ini Kak Langit serius ingin menggembleng aku macam guru murid atau bagaimana, ya?

Kenapa aku justru merasa diperlakukan seperti Si Berang?

Oho! Bukan, ya! Bukan berarti aku dielus, diberi makan dan disayang-sayang. Tidak! TIDAK SEPERTI ITU.

Yang aku maksud diperlakukan seperti Si Berang itu ya begitu. Aku seperti dijadikan hewan peliharaan saja oleh Kak Langit. Dibawa ke sana kemari. Lehernya diikat. Dikurung dalam rumah.

Hiks ... Senang- eh sedih ding maksudnya.

Oh ... Soal diikat dan dikurung itu hanya kiasan saja, ya. Mana mungkin Kak Langit begitu, bisa dibantai Kak Rhina dia kalau sampai berani memperlakukanku begitu. Maksudnya itu ruang gerakku benar-benar dia batasi.

Intinya, semenjak keputusan hakim yang menyatakan bahwa aku harus belajar minimal selama delapan jam sehari dengan Kak Langit, maka sejak saat itulah kebebasanku direnggut.

Berangkat sekolah diantar. Pulang dijemput. Kemana-mana dikawal Kak Langit. Ah! Ini kalau dia sedang tidak ada jam kuliah, ya.
Tapi masalahnya, jadwal kelas Kak Langit itu selalu pagi.

Jadi, ketika aku pulang sekolah, Kak Langit sudah siap menjadi pengawal pribadiku.

Iya. Kak Langit membuatku jadi seperti kambing gembala. Diarahkan kanan kiri tanpa boleh protes.

Seperti sekarang, kami berdua sedang ada di perpustakaan kampusnya Kak Langit.

PADAHAL INI HARI LIBURKU!

Tapi dengan alasan belajar bersama selama delapan jam, Kak Langit menyeretku ke sini.

"Kenapa diam saja? Bosan?"

Menurut ngana?! Tentu saja remaja labil macam aku akan sangat bosan duduk diam di perpustakaan yang isinya hanya buku-buku ilmiah seperti ini!

Sebenarnya ada buku bacaan seperti novel atau komik juga, sih. Tapi kan, aku sedang ingin menghujat Kak Langit. Jadi anggap saja hanya ada buku ilmiah di sini.

"Relisha, kalau ditanya itu jawab. Bibirnya bisa dibuka, kan?"

Beruntungnya kita sedang ada di ruang privat.

Ya. Perpustakaan pusat kampusnya Kak Langit memiliki ruang privat yang bisa dibooking sehari sebelumnya. Ruangan ini tertutup dan bisa muat sampai 5 orang di dalamnya.

Semenjak datang tadi pagi, Kak Langit langsung menunjukkan tiket pemesanannya pada petugas, dan kami pun bisa menikmati waktu di sini sampai perpustakaan tutup.

Enak sekali! Tapi aku bosan.

"Sha-"

"Apa?!"

Astaga. Kok aku kaget sendiri ya karena membentak Kak Langit? Tapi yang dibentak justru terlihat biasa saja. Wajahnya masih sedatar permukaan es batu.

Iya, sih. Wajahnya biasa saja. Tapi matanya itu, loh. Terlihat sekali dia tidak suka dibentak.

Maka dengan gerakan seanggun bebek peking, Kak Langit bergeser tempat duduk dan semakin mendekat padaku.

Tubuh ini refleks ingin menjauh, tapi sialnya, kaki Kak Langit yang maha jenjang itu justru menarik kaki kursiku hingga kursi kami saling bertabrakan.

"Siapa yang mengajari kamu berbicara seperti tadi?"

Hiks ... Ambar, Kak. Ambar! Dia yang sudah mengajarkan kekerasan dalam hidupku.

"Ini ... Telingaku yang bermasalah atau memang Relisha-ku yang diam saja sejak tadi, ya?"

Hah? Relisha-ku? Mabuk ya nih orang? Aku merasa seperti benar-benar menjadi pacarnya kalau begini!

Eheee ... Padahal kemarin-kemarin yang kesal karena tidak diperlakukan seperti pacar kan aku. Tapi sekarang, saat Kak Langit perhatian begini, kenapa aku juga kesal, ya?

Langit Lisha Onde histórias criam vida. Descubra agora