9. Percakapan pagi

3.3K 415 55
                                    

Pagi menjelang siang di saat matahari lagi teriknya Ratih berjalan menelusuri jalan kecil di kampungnya, gadis berbaju kurung itu terus tersenyum dan menyapa siapapun yang ia lewati di jalan pagi itu.

Ratih hendak menuju rumah seorang Datuak terpandang di negri ini, sebenarnya ada rasa takut di hati Ratih karna wajah Datuak besar itu sedikit menyeramkan karna selalu saja memperlihatkan ekspresi serius. Walaupun begitu Ratih tetap melangkahkan kaki menuju rumah sang Datuak nanti Ratih akan beralasan ingin bertemu anaknya mumpung anak sang Datuak adalah teman Ratih sedari dulu.

Ratih menepati perkataanya pada Hua pagi kemaren, bahwa dia yang akan mengantarkan balasan surat dari Hua untuk Ranan. Walau sebenarnya kemaren Ratih berkata tidak terlalu serius sebab Ratih mengira Hua tidak benar benar akan membalasnya.

Ratih muncul di balik belokan yang cukup tajam dengan pohon pauah (sejenis buah buahan berbentuk mangga) besar yang tumbuh di pinggir lapangan besar di samping jalan itu, rumput di lapangan itu biasa di makan kerbau orang kampung ini dan pohon pauah itu biasanya di gunakan untuk berteduh bagi si pengembala. Tetapi pada sore hari biasanya banyak anak anak muda laki laki yang menggunakan lapangan ini untuk bermain sepak bola.

"Ratih" bagaikan jelangkung yang datang tak di undang lalu pergi tak di antar seperti itulah kedatangan sosok yang membuat Ratih hampir saja berteriak kencang karna terlalu kaget pasalnya sosok itu datang tiba tiba entah dari mana.

Sosok laki laki bertubuh tinggi dengan ciri khas sarung yang di selempangkan di bahu serta peci yang di pakai terbalik itu menyadari wajah terkejut Ratih maka dari itu laki laki itu menyengir lebar sama persis seperti kuda.

"Pai ka pasa mambali pamasak
Pamasak di bali ka apak si Riko.
Oi adiak nan kamek juo rancak
Kama tempek tujuan kini ko?" Hasan yang berjalan di samping Ratih berbicara dengan nada yang di dramatisir, bahkan sekarang Hasan terdengar seperti seorang tokoh utama dalam cerita Randai.

"Jangan bicara kepadaku, aku adalah kotak pos." Ratih berjalan dengan tegap, pandanganya lurus kedepan dengan ekpresi wajah yang dia buat se serius mungkin.

"Kotak pos?" Bingung Hasan dengan kening berkerut, bahkan saking bingungnya Hasan sampai menggarut perutnya yang sedikit maju ke depan itu dengan tanganya sehingga si lemak yang ada di perut Hasan bergetaran si buatnya.

"Iya, aku menjadi kotak pos untuk dua anak muda yang tengah kasmaran sekarang." Ratih sepertinya kesal, entah kesal karna ia mengantarkan surat cinta atau kesal karna ia tidak pernah menerima surat cinta seperti yang di terima Hua. Ratih merubah ekspresinya, gadis itu mengangkat kertas yang sedari tadi berada di tanganya ke depan wajah Hasan.

"Surat dari teman China mu itu? Untuk Ranan?" Mendengar dua pertanyaan itu keluar dari bibir Hasan Ratih hanya mengangguk menjawab.

Melihat perilaku Ratih barusan, Hasan menghela nafas berat wajah cerianya yang semula tiba tiba lenyap di gantikan wajah serius bercampur ekspresi memalas ala Hasan.

"Baa tu ba paturuik an urang Cino tu? Baa kok dek namuah se ma antan antaan surek surek modeko Ko?"
(Kenapa nurut aja sama orang cina itu? Kenapa kamu mau mau aja ngantarin surat surat kayak gini?)

Pertanyaan bertubi tubi itu Hanan ucapakan dengan nada sedikit meninggi, membuat Ratih menghentikan langkah kecilnya dan memilih menghadap pada Hasan untuk melihat wajah laki laki itu.

"Baa tu?" Ratih tentunya kebingungan dengan  perubahan sikap dari Hasan yang tiba tiba.

"Ratih, aturanyo sabagi kawan Kito dak mandukuang kawan Kito di jalan nan salah doh."
(Ratih, seharusnya kita sebagai teman gak mendukung teman kita di jalan yang salah.)
Hasan berkata masih dengan nada yang tidak biasa.

Tanah Minang 1970 || TELAH TERBITDonde viven las historias. Descúbrelo ahora