satu -

857 64 3
                                    

Apa yang bisa diharapkan dari 8 anak laki-laki tinggal satu atap tanpa asuhan orang tua?

Ada. Banyak.

Tapi untuk sekarang mungkin tidak berlaku. Karena Senada atau yang biasa dipanggil Kak Nana itu sudah berulang kali mengetuk pintu kamar kakak dan adiknya tanpa ada satupun balasan.

Tak terhitung lagi kesabaran Nana menghadapi tujuh orang yang sangat menyusahkan hidupnya.

"KALAU KALIAN TELAT GUA GA PEDULI!!!" Teriak Nana untuk terakhir kali sebelum Ia kembali ke kamar dan bersiap pergi kuliah.

Suara grasak grusuk mulai terdengar membuat Nana memutar bola mata malas.

Sebentar lagi pasti ada yang ribut, pikirnya.

"Kak Nana, ada liat kaos kaki aku nggak!?"

"Nana, kemeja kerja abang yang hitam ada di mana ya?! Dasinya juga gak ada!"

Nana, Nana, Nana terus.

Dengan perasaan dongkol Nana menghampiri saudaranya satu persatu dan membantu mereka menyelesaikan kegaduhan.

Hanya satu yang tidak ada di sana. "Samudra belum bangun?" Tanya Nana dengan bingung.

Pertanyaan itu menarik perhatian semua yang ada di meja makan.

Iya juga.

Pemuda jangkung itu belum terlihat batang hidungnya sejak tadi.

"Dia ada kelas pagi, kan?" Bumi bertanya, yang dibalas anggukan oleh Antariksa atau Aksa yang memang memiliki kelas dengan Samudra.

Nana dengan sigap berdiri dan pergi menuju kamar sang adik.

Pintu dengan hiasan bertema laut itu Nana ketuk dua kali. "Sam.. kamu belum bangun?"

Ketukan ketiga kali masih tidak ada sahutan dari pemilik kamar membuat rasa khawatir mulai datang.

Dibukanya pintu dan bisa terlihat jika seseorang masih bergelung nyaman dibawah selimut tebal.

Nana masuk ke dalam, Ia lihat wajah Samudra yang sepertinya gelisah. Tidak salah lagi sang adik tengah mengalami demam tinggi.

Tubuhnya dingin namun berkeringat.

"Sam.. bangun dulu sebentar."

Nana menekan tombol di dekat ranjang yang sengaja dibuat untuk mereka gunakan dalam keadaan urgensi.

Tak lama enam orang lain yang mungkin sudah menunggu dibuat panik karena justru suara bel yang mereka dengar.

"Kenapa?" Bumi duduk di tepi ranjang.

"Demam, gak mau bangun."

Bumi menepuk pelan pipi sang adik agar terbangun dari tidurnya. Suhu tubuhnya sangat tinggi ternyata.

"Adek, Sam.. bangun dulu sayang." Ucap Bumi yang tidak juga membuahkan hasil.

"Nana panggil om Arjuna, Aksa anter adiknya sekolah dulu terus yang lain kalau ada kegiatan kuliah pergi aja gapapa. Abang izin buat jagain Sam nanti."

Gema sudah akan protes jika saja Laskar tidak menariknya ke luar.

"Nana udah telepon om Arjun, abang gapapa sendirian? Nana ada satu kelas hari ini mungkin selesai agak siang." Ujar Senada pada Bumi.

"Ya gapapa, jangan terlalu khawatir adeknya cuma demam kok nanti juga sembuh." Balas Bumi menenangkan.

Nana dan Langit menatap sedih pada Samudra yang terlihat gelisah dalam tidurnya.

"Yaudah sana, keburu telat nanti."

Bumi menghela nafas setelah kepergian adik-adiknya. Ia memandang pada Samudra dan tersenyum.

"Jangan lama-lama sakitnya ya, kakak sama adek kamu khawatir banget tuh." Ucap Bumi yang Ia yakini tidak terdengar sama sekali oleh Samudra.

Kecupan kecil Ia bubuhkan pada kening sang adik sebelum beranjak pergi untuk mengambil bahan untuk Ia bekerja di rumah.
















































"Kamu, udah abang bilang jangan terlalu semangat sama ekskul-ekskul yang banyak itu. Jadi lupa sama kesehatannya kan."

Samudra hanya mengangguk menanggapi omelan dari Bumi. Kakak pertamanya itu sangat bawel.

Ngomong-ngomong mereka masih di kamar yang lebih muda, setelah Samudra diperiksa oleh om Arjuna, Bumi disuruh memberi adiknya makan agar bisa mengonsumsi obat.

Makan udah, minum obat udah, kerjaan aman dan sekarang tinggal cuddle aja.

Posisi Bumi sedikit lebih tinggi sedangkan Samudra menggunakan lengan sang kakak sebagai bantalan.

"Masih pusing nggak?" Tanya Bumi seraya mengusap kepala sang adik.

"Nggak."

"Ini kalau yang lain liat pasti cemburu."

"Cemburu kenapa?"

"Liat kita cuddle."

Samudra berdecak tidak percaya, untuk apa mereka cemburu? Tidak penting.

Seakan tidak pernah biasa dengan afeksi yang diberikan oleh saudara-saudaranya, Samudra itu cuek.

Anak ke-6 Dirgantara itu hanya akan manja ketika sedang sakit atau memang sedang mood saja.

Selebihnya tidak peduli.

"Yaudah tidur lagi, sebelum yang lain pulang makin pusing kamu."

Membenarkan ucapan si sulung, Samudra semakin menyamankan posisinya dalam pelukan Bumi.

Menang banyak, batin Bumi senang.





































"Licik, bagian gua mau meluk gak boleh!" Protes Aksa pada Samudra.

Ini dia yang Bumi maksud.

Tak disangka Aksa kembali ke rumah setelah mengantarkan Langit dan Laskar sekolah.

Seperti tersangka kejahatan Bumi dituding merebut barang miliknya. Padahal kan Samudra milik kita bersama.

"Berisik." Protes Samudra.

Aksa mendengus tetapi kemudian Ia ikut naik ke atas ranjang dan memeluk Samudra dari belakang.

Double kill, Samudra diapit dua manusia kelebihan otot sekarang.

"Sempit, abang!" Kesal yang paling muda di sana.

Samudra itu paling tinggi di rumah, tapi paling kurus juga. Sesuai proporsi sih tapi jika dihimpit begini dia harus apa?

Aksa melonggarkan pelukannya, mundur sedikit agar sang adik mendapatkan ruang meski tetap tidak sesuai keinginan.

Bumi terkekeh melihat bagaimana Samudra mendusal padanya sedangkan Aksa menyusup pada punggung adiknya.

Ini baru nambah satu, batin Bumi.








































"Aku juga mau peluk abang!!" Ujaran kesal dari Laskar dan Langit mengudara.

Waduh..

Samudra Dirgantara | Jung SungchanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang