Dilla

610 39 1
                                    

Ini pertama kalinya aku melihat Adrian terlihat serapuh ini. Aku biasa melihat sosok Adrian yang dingin, mandiri dan tenang meskipun kadang agak pemarah. Namun sekarang, hanya berjarak beberapa meter, aku bisa melihatnya yang duduk dengan wajah kosong menatap ke dinding kaca kantornya yang mengarah ke luar. Wajahnya kuyu, dengan rambut yang tidak disisir rapi serta jenggot dan kumis yang mulai tumbuh di sana. Padahal aku tahu pasti bahwa Adrian sama sekali tidak suka memelihara kumis dan jenggot.

Aku menghela nafas. Sekretaris Adrian menghentikan langkahku untuk mendekat ketika dia berkata dengan sangat pelan, "Pak Adrian sedang tidak ingin diganggu, Bu Dilla. Lebih baik anda kembali lain waktu saja. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk menemui Pak Adrian."

"Biarkan aku menemuinya sebentar, Afrin. Aku tahu dia tidak akan marah padamu karena ini."  aku menatap Afrin penuh keyakinan. Dia menatapku ragu sebelum akhirnya melangkah menyingkir, memberiku jalan dan mengangguk.

Aku berjalan masuk dan menutup pintu kantor Adrian dengan pelan. Dia bahkan tidak menoleh, aku malah curiga kalau dia tidak menyadari keberadaanku di sini. Aku mendekat, memutari separuh meja dan berdiri di samping Adrian.

"Adrian." Aku menyentuh bahunya dan dia nyaris terlonjak karena kaget.

Matanya menyipit menatapku dengan sinis, "Apa yang kau lakukan di sini, Dilla?" ucapnya seraya menyingkirkan tanganku dari bahunya.

Aku mengerutkan keningku melihat sikapnya. Tidak cukupkah dengan mengusirku dari apartemennya beberapa hari lalu? Dia sudah tidak pernah mengangkar teleponku dan membiarkan semua pesan yang kukirimkan padanya. Dia benar-benar tidak mengacuhkanku. Lalu sekarang, ketika aku mendatanginya dia malah bersikap seperti ini padaku.

"Kau ini kenapa sih Adrian?" rengutku jengkel.

Dia bangkit dari duduknya, menjauh dariku dan berdiri membelakangiku, "Pulanglah."

Hanya satu kata itu dan tidak ada lainnya. Aku tidak hanya melihat punggung tegaknya, tapi juga ribuan kepedihan dan rasa sakit di sana. Amarahku memudar. Jika saja bukan seperti ini situasinya, aku akan berlari dan memeluk punggung itu. Menenggelamkan diriku di sana dan berbisik semuanya baik-baik saja.Tapi sekarang itu mustahil, mustahil sebab dia seperti ini mungkin juga karena diriku. Karena ulah yang kulakukan, perempuan itu meninggalkanku. Perempuan sainganku. Perempuan yang mengalahkanku. Perempuan yang membuatku tersingkir. Satu-satunya perempuan yang sekarang ada di hati dan pikiran laki-laki yang kupuja setengah mati ini.

Aku berjalan mendekat. Hanya tinggal tak kurang dari dua langkah, Adrian terasa sedekat udara, namun juga terasa sejauh angkasa. Aku menguatkan diriku. Benar-benar berdiri sangat dekat di sampingnya. Mengecup pipinya selembut kecupan pertama kami, "Kau memilikiku. Dan akan selalu begitu. Ingatlah itu."

Tapi Adrian sedingin kaca di dekatnya. Tidak ada reaksi. Dia bahkan tidak menoleh ke arahku. Lalu aku bisa mendengarnya, suara sekaku tombak, "Pergilah."

Aku memutar tubuhku secepat yang kubisa dan berjalan meninggalkan ruangan ini dengan sisa-sisa suara sepatu hak tinggiku. Aku nyaris berlari, mengabaikan tatapan ingin tahu Afrin, aku terus melanjutkan langkahku. Berbelok ke arah tangga darurat dan menuruninya seperti orang gila.

 Ada yang terasa hancur di dalam diriku. Aku berhenti dengan nafas tak beraturan dan betis yang terasa mau pecah.  Menjatuhkan tubuhku ke anak tangga, tangisku pecah. Ada yang benar-benar hancur di dalam sini. Aku bisa merasakannya dan sakitnya luar biasa. Aku memeluk lututku dan membiarkan air mataku terus mengalir. Aku butuh air mata. Aku butuh penghapus luka ini.

***

Aku melangkah tak tahu arah. Berjalan sembarangan di trotoar dengan lirikan banyak laki-laki ke arahku yang hanya mengenakan gaun berpotongan dada rendah dan panjangnya tak sampai lututku. Bahkan mungkin nyaris tujuh senti di atas lutut. Masa bodoh. Aku tak mau peduli pada mereka. Masa bodoh.

Malaikat HujanWhere stories live. Discover now