05 | Mertua

4.5K 516 16
                                    

“Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.”
[QS. Ya-Sin : 40]

•❅───✧❅✦❅✧───❅•

Eliza memandang penuh kebencian pada Rayyan, pemuda di depannya ini sangat memancing emosinya.

Tanpa berkata lagi, Eliza beranjak pergi, meninggalkan Rayyan yang terdiam menatapnya.

Rayyan menghela napas panjang, dia meluruskan pandangan pada punggung Eliza yang semakin hilang dalam pandangannya.

Rayyan menundukkan kepalanya dalam-dalam, memainkan butir-butir tasbih dalam genggamannya seraya beristighfar. “Ya Allah, kuatkanlah hamba dalam menghadapi istri hamba. Lapangkanlah kesabaran dalam hati hamba ya Allah. Dan, lembutkanlah hati istri hamba supaya mau menerima hamba sebagai suaminya.” batin Rayyan.

Di sisi lain, Eliza terus menggerutu dan memaki-maki Rayyan selama perjalanan menuju ruangan ibunya.

Eliza membuka pintu tanpa mengucap salam, dia terkejut mendapati dua orang asing berada di ruangan ibunya. Mereka tampak asik berbincang.

Riani menyadari kedatangan Eliza lantas menoleh, diikuti dua orang itu. Eliza tersenyum canggung, dia mengucap salam dengan pelan.

“Wa'alaikumsalam,” jawab mereka.

“Eliza, kemari, Nak.” titah Riani.

Eliza menganggukkan kepalanya, dia melangkahkan kakinya menuju sang ibu dengan kepala tertunduk.

Riani memegang lengan Eliza, menghadapkan tubuh Eliza pada pasangan suami istri di depannya. “Eliza, perkenalkan mereka orang tua Nak Rayyan yang kini menjadi mertua kamu.” ujar Riani membuat Eliza tertegun.

Riani sedikit mencubit lengan Eliza, membuat Eliza menatapnya dengan tatapan bertanya. Riani memberi isyarat lewat tatapan matanya, menyuruh Eliza menyalami tangan dua orang itu.

Eliza tersenyum canggung, dia menyalami tangan yang katanya adalah mertuanya dengan sopan.

“Maa Syaa Allah, cantiknya Eliza.” puji Shafiyah. Dia memeluk tubuh Eliza.

Eliza menunduk malu. “M-makasih tante.”

Shafiyah terkekeh. “Jangan panggil tante, panggil Ummi.”

“A-ah, iya, maaf U-ummi.” Eliza balas memeluk Shafiyah, kemudian beralih menyalami tangan pria yang tidak lain Aba-nya Rayyan—Afdhal.

Afdhal mengusap lembut kepala Eliza.

“Oh, ya, Mas Rayyan mana, Nduk?” tanya Shafiyah pada Eliza.

Eliza dibuat bungkam, dia bingung harus menjawab bagaimana. Dia merasa tidak enak, masa iya harus bilang kalau dia meninggalkan Rayyan sendirian di kantin? Oh, apa kata mereka nanti. Pasti Eliza akan dimarahi Riani.

“Eum.... Itu....”

“Assalamu'alaikum,”

Mereka lantas menoleh pada Rayyan, Shafiyah tersenyum melihat putranya. Eliza menghela napas lega.

“Ummi, Aba?”

Rayyan menyalami tangan orang tuanya sopan.

“Dari mana?” tanya Shafiyah.

“Dari toilet, Mi.” jawab Rayyan, melirik Eliza sekilas seraya tersenyum tipis.

Shafiyah mengangguk paham, dia menatap Rayyan dan Eliza bergantian. “Kok jauhan? Masih canggung, ya?” tanyanya sedikit tertawa.

PHILOPHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang