46. I'm With You

31.5K 3.3K 306
                                    

Arsal

Seluruh persendian di tubuhku terasa lebih dari remuk.

Aku bersumpah, dari seluruh level rasa sakit yang pernah aku rasakan seumur hidupku, ini adalah level tertinggi. Aku nyaris berpikir bahwa malaikat pencabut nyawa sudah mengulurkan tangan dan siap menarikku untuk mengikutinya, saat kecelakaan itu terjadi.

Bahkan kematian terasa lebih menggiurkan, dibanding rasa sakit yang aku rasakan saat ini.

Mobil yang aku kendarai menghantam tiang besar di samping jalan, saat menghindari sebuah motor yang hendak menyalip sembarangan dan nyaris aku tabrak. 

Demi Tuhan, aku membenci para pengendara motor tidak tahu diri yang sering selap selip, serasa hanya mereka yang memiliki kebutuhan paling urgent sedunia sampai harus terburu-buru dan mengakibatkan kecelakaan.

Tubuhku membentur setir yang ada di depanku dengan sangat keras. Aku sudah tidak ingat apa yang terjadi setelahnya, selain rasa remuk disekujur tubuh serta darah yang mengucur dari pelipisku, hingga berikutnya aku sudah tidak sadarkan diri.

Bahuku patah. Kepalaku bocor dan mendapat beberapa jahitan. Aku baru tersadar dari kondisi sekarat dan masih merasakan sakit di setiap pergerakanku — bahkan saat aku tidak bergerak pun rasa sakit di tubuhku tidak berkurang sama sekali.

Namun, kondisi itu tidak mengubah suasana kamar rawatku yang sunyi senyap tanpa ada satu orang pun yang tinggal.

Hanya beberapa perawat dan dokter yang secara rutin mengecek kondisiku sesuai SOP mereka.

Kenapa mereka harus susah payah menyelamatkanku? Padahal, aku benar-benar tidak keberatan jika saat itu harus merenggang nyawa.

Pihak rumah sakit sudah mengubungi beberapa kontak daruratku, tapi sampai detik ini belum ada satu pun yang datang mengunjungiku.

Papa sedang menghandiri konfrensi yang luar biasa penting di New York. Yang tentunya lebih penting ketimbang nyawaku yang tidak sebanding dengan kepentingan perusahaan.

Mama Audy yang juga ikut dalam perjalanan bisnis Papa, hanya sempat menelponku untuk menanyakan kondisiku. Mama tiriku bahkan terdengar lebih khawatir dibanding Papa, yang hanya memastikan kondisiku lewat istri barunya.

"Syukurlah, kalo kamu udah dipindah ke kamar rawat. Jadwal pesawat Mama sore ini, tapi kemungkinan baru sampai di Jakarta besok. Kalo Papa kamu baru bisa berangkat besok siang."

Begitu kata Mama saat menelponku ketika aku siuman.

"Mama udah kabarin Audy, tapi nomornya nggak aktif. Semoga pas nomornya aktif, dia bisa langsung nemenin kamu di rumah sakit ya, Sal," kata Mama lagi, sebelum menutup panggilannya.

Dan sampai hari ini, setelah semalaman aku menginap di rumah sakit sendirian, tidak ada satu pun yang datang.

Sementara Nadira tidak menjawab panggilanku sama sekali, saat aku meminta pihak rumah sakit untuk mengabarinya.

"Arghh..."

Aku merintih kesakitan, saat tanganku berusaha bergerak untuk mengambil air minum di meja samping tempat tidurku.

Aku sudah memanggil perawat setiap beberapa menit sekali, demi membantu setiap keperluanku di rumah sakit. Namun, aku cukup tahu diri bahwa tugas perawat di rumah sakit tidak hanya mengurusiku saja.

Terlebih jika hanya untuk mengambil air minum atau membimbingku ke kamar kecil.

Seharusnya itu tugas pendamping pasien. Dan aku tidak memilikinya sama sekali.

Aku menahan napasku untuk beberapa saat, berusaha menahan rasa sakit yang kian terasa pada bagian bahu kananku yang patah.

Tak lagi berusaha menggapai gelas berisi air minum itu, aku memilih untuk menahan rasa hausku dan akan meminta tolong saat ada suster yang berkunjung ke kamarku.

My Gorgeous Sissy Where stories live. Discover now