79. Lost in Distrust

24.5K 2.2K 262
                                    

ARSAL

Tania menggerakkan apple pencilnya pada layar ipad, seraya mencarikan business plan yang sudah ia siapkan untuk dibahas pada pertemuan kami malam ini.

Seperti yang sudah pernah aku ceritakan sebelumnya, bahwa aku turut berinvestasi dalam bisnis yang dijalankan wanita itu, sejak pertama kali ia mencetuskan idenya untuk membuka usaha tempat hiburan malam yang kini sudah memiliki nama yang cukup besar di kalangan muda-mudi Jakarta.

"Sekarang, beach club yang lagi rame di Bali tuh Atlas, mereka ini punya grup perusahaan yang sebelumnya punya brand Holywings. Pesaing kita tuh nggak main-main loh, Sal!" kata Tania, yang sejak tadi mengotot ingin aku mempertimbangkan agar rencana pembangunan beach club Sky Life di Bali, bisa bekerja sama dengan Garafiant.

"Gue paham, lo pengin Sky Life dapet back up dari grup perusahaan besar juga, tapi kalo Garafiant nggak cocok dong, Tan. Targetnya Sky Life 'kan anak-anak muda, sementara citra Garafiant tuh terlalu mewah dan exclusive, dan pasarnya bukan anak muda."

"Tapi trend sekarang tuh, anak muda lagi berlomba-lomba mencari validasi kalo mereka mampu beli barang-barang atau berkunjung ke tempat yang fancy." Tania masih berusaha membujukku. "Coba dulu kasih proposal gue nggak sih, Sal? Gue masukin sendiri kok, nggak minta lo buat ngasih ke bokap lo."

"Nggak! Gue tetep nggak setuju! Lagian mereka tuh ex holywings, berarti yang cocok bersaing di sana tuh justru Sky Life, Tan! Kecuali kalo mereka satu grup sama Ritz Carlton."

"Gue setuju sama Arsal. Daftar investor yang sebelumnya juga udah bagus kok, Tan. Kayaknya nggak perlu join sama Garafiant." Sabda yang merupakan CEO RuangUsaha, yang menghubungkan Sky Life dengan para investor lain hingga menjadi sebesar sekarang, turut berkomentar.

Tania mendesah pelan, lalu menatapku sekali lagi. "Gitu, ya?"

Ekspresi wajahnya seolah masih belum ikhlas dengan keputusanku, tapi akhirnya wanita itu mengangguk setuju.

Pembahasan kami terus berlanjut dengan topik yang sama, terkait persiapan Sky Life yang akan melebarkan sayapnya untuk membuka beach club di Bali, tempat hiburan yang kini sedang banyak digemari oleh wisatawan.

Sebenarnya, aku tidak banyak terlibat dalam manajemen Sky Life, karena Tania sudah mengurusnya dengan sangat baik. Biasanya aku datang ke kantor beberapa bulan sekali, jika Tania memintaku datang untuk membahas sesuatu yang perlu melibatkanku.

Namun, saat ini kami memutuskan untuk meeting di salah satu lounge yang berada di kawasan Senopati, untuk sekaligus melepaskan penatku dengan suasana kantor dan masalah di rumah.

Selesai meeting, Tania dan Sabda langsung pergi, sementara aku memutuskan stay untuk beberapa saat di tempat ini sambil menikmati minuman dan penampilan dari musisi jazz yang menenangkan.

Aku butuh waktu untuk menjernihkan pikiranku sendiri, di tengah huru-hara yang belakangan ini terjadi antara aku dan Audy.

Beberapa hari lalu, keributan kami seolah tidak memiliki ujung, seolah setiap harinya selalu ada saja masalah yang disulut oleh Audy, yang membuatku benar-benar lelah menghadapinya.

Belakangan ini, kami hanya berbicara sekadarnya, karena Audy yang tampak tidak mood berbicara panjang denganku. Aku berusaha untuk memahami kondisinya yang mungkin juga tidak muda, tapi aku tak mampu mengelak bahwa aku juga stres.

Aku melirik jam tanganku, sudah pukul delapan malam. Hari ini, aku pulang cepat dari kantor, untuk meeting dengan Tania dan Sabda.

Setengah jam lagi aku akan pulang, sambil berharap kemacetan sudah mereda.

Aku kembali meneguk gelas champagne yang isinya nyaris habis.

Saat tanganku baru akan terangkat, untuk memanggil seorang waiters dan memesan minuman lagi, sebuah suara justru terdengar lebih dulu memanggil namaku.

My Gorgeous Sissy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang