Chapter 4: Bukan Mimpi?

51 10 0
                                    

Di atas meja makan sudah tersaji masakan hangat untuk makan malam sekeluarga. Ada sisa katering lebih nikahan Rei daripada makan sendiri langsung saja berinisiatif sedekah dibagikan kepada orang yang kurang mampu, dibungkus mengunakan kotak nasi bagikan sama rata sampai ke tangan penerima supaya kebagian. Mereka mendapatkan imbalan ucapan terima kasih mendoakan pernikahan Rei dan Nor semoga sakinah mawadah warohmah dalam perlindungan Allah bersahut mengamini bersama-sama.

Sekarang anggota keluarga berjumlah empat orang itu duduk di kursi meja makan bersebelahan dengan pasangan masing-masing.

Nor begitu telaten melayani suaminya makan untuk pertama kali setelah mereka sah menikah tadi pagi. Rei diam, tidak banyak berbicara sebab setelah makan hendak lekas istirahat karena lelah. Lauk dan nasi yang diambilkan Nor cukup untuk porsi Rei makan duluan.

Kamila menjeling ke Rei, lalu menyikut Hansa. Suaminya itu menoleh saat istrinya memberikan isyarat bahwa putra mereka begitu murung. Merasa heran dengan putranya yang mudah sekali berubah suasana hati seperti bunglon. Sungguh kentara bahwa Rei tidak senang menikah bersama Nor, dan diamnya itu sembari makan pasti masih memikirkan Ganesha.

"Nor, jangan sungkan kalau mau nambah. Pasti lelah jadi pengantin berdiri bersebelahan bersama Rei menyambut tamu tadi, kan?" tanya Hansa membuka obrolan, sedangkan Nor tersenyum seperti tidak mempermasalahkan. "Malam ini istirahat saja yang rileks. Tapi, harap maklum kalau tidur Rei sedikit lasak kalau kelelahan, terus sudah besar begitu saat demam masih aleman ke Mama." sembari berkelakar.

"Pa! Mama cuman mengompres aku kalau demam. Jangan mempermalukan aku begitu!" celetukan Rei sebenarnya malas meladeni berbicara. Melainkan, untuk satu ini pengecualian.

"Hm ... Papa hanya beri tahu perilaku manja kamu saja saat demam. Nanti Kak Nor bisa gantian kompres kamu sudah bukan Mama lagi," sahut Hansa, tetapi Rei diam setelah itu. "Oh! Hampir lupa mengabarkan! Kalau kami sudah beli rumah di blok belakang untuk kalian."

Rei mengernyit, dan benar saja Hansa berhasil memancing putranya itu supaya merespons.

"Beli rumah? Di belakang mana? Pakai uang Papa sendiri, kan?" Rei mulai berprasangka.

"Perumahan belakang di sini yang masih banyak kosong. Rumah orang tua kamu ini blok A, sedangkan kamu blok B. Beli pakai uang kamu lah! Enak betul uang lima ratus juta menganggur. Lagian rumah itu untuk keluarga kamu yang huni. Ngapain pakai uang Papa?" penjelasan Hansa mendetail.

Rei terbelalak dan alisnya tersentak bersama-sama, bahkan sampai berhenti mengunyah. "HAH-HAH?! Itu uang aku, Pa! Uang simpanan aku!"

"Jangan bakhil, Rei! Rumah itu penting untuk kalian berkeluarga. Kamu sudah menikah begitu apa masih harus tinggal dengan orang tua? Uang simpanan kamu tidak bakalan habis. Habis palingan setengah untuk tambahan pembangunan rumah kamu yang besok tukang sudah mulai bekerja," tutur Hansa, perkataannya semakin mengagetkan Rei lagi.

"Palingan setengah kata Papa?!" Rei mulai geram meringis. "Pa! Ma! Jujur mahar menikah tadi juga menggunakan uang aku? Kalau benar—kenapa tidak meminta persetujuan aku sampai seratus juta begitu? Papa sendiri mengatakan aku harus hemat setelah menikah dengan Kak Nor. Begitu cara aku berhemat tanpa menyentuh uang tabungan itu. Bukan pelit, Pa, Ma!" pertegas Rei berkobar-kobar, marah atas tindakan semena-mena orang tuanya sedari kemarin, semakin melewati batas sehingga tidak bisa menahan diri.

"Sama saja itu pelit! Kenapa dengan mahar? Ya, Mahar itu menggunakan uang kamu. Apa kamu tidak merasa menyinggung perasaan wanita yang telah menjadi istrimu? Rei, kamu itu mampu dan masa menikah tidak kasih mahar? Apa mesti uang Papa juga? Tidak bukan? Asal kamu tahu kalau mahar seratus juta itu bukan keluarga besan yang minta apalagi Kak Nor, istrimu. Melainkan, Mama dan Papa mempersiapkan mahar itu," perjelas Hansa berhenti makan sementara meletakkan sendok. "Sudah ada istri itu seharusnya pandai berpikir. Hemat kamu itu berbeda. Kasih istrimu nafkah lahir batin jangan lupa, untuk istri jangan ada kata pelit mengeluarkan uang, dan menjadi suami harus tanggung jawab. Kalau tidak ada uang lebih baik jujur, supaya kedepannya tidak ada keributan suami-istri."

ReiNor (On Going)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora