2. Penawaran

2 1 0
                                    

“Tersangka awalnya terlibat percekcokan dengan korban, saya melihatnya sendiri. Tersangka pergi dari rumah korban, dan setelah itu pun saya pergi. Tapi ternyata keesokan paginya salah satu keluarga menemukan korban sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Saya yakin tersangka menaruh dendam dan kembali ke rumah korban untuk membunuhnya, Yang Mulia,” terang seorang lelaki paruh baya yang duduk di kursi saksi.

Kevin sebagai pembela mendengarkan kesaksian itu dengan baik dan tenang. Sementara tersangka yang duduk di sampingnya sudah merasa cemas yang teramat. Pasalnya dia tidak melakukan apa yang dituduhkan oleh saksi.

“Demi Allah, Pak Hakim. Saya tidak membunuh. Kami memang sempat cekcok, tapi saya tidak kembali lagi ke rumahnya sampai mendengar esok harinya kalau Imran sudah tewas,” ujar tersangka seraya berdiri.

“Tersangka belum diberi kesempatan untuk berbicara,” sela Pak Hakim.

“Tenang, Pak Haikal. Tenang. Sekarang duduk dulu saja, nanti Anda bicara setelah diberikan izin,” ucap Kevin menenangkan, mengajak kliennya untuk duduk kembali.

Tersangka pun meluruhkan tubuhnya dengan gerak lesu. Pikirannya sudah benar-benar kacau.

“Lanjutkan kesaksian Anda, Pak Aldi,” perintah Pak Hakim.

Saksi yang bernama Aldi pun berkata kembali, mengatakan banyak hal yang semakin menyudutkan tersangka. Sampai akhirnya Pak Hakim mempersilakan jaksa untuk bertanya. Pak Haikal semakin down setiap kali jaksa memberi pertanyaan yang akhirnya dijawab oleh saksi dengan kalimat-kalimat penuh kebohongan.

Hingga tibalah waktunya bagi Kevin selaku pembela memberikan pertanyaan.

“Selamat siang, Pak Aldi,” sapa Kevin sembari berdiri.

“Selamat siang, Pak,” jawab Aldi.

“Saya tidak ingin bertanya dulu pada Pak Aldi untuk saat ini. Saya hanya ingin menunjukkan sesuatu yang mungkin bisa memberikan sebuah jawaban atas teka-teki kasus ini.” Kevin pun membuka tasnya di atas meja, dan mengeluarkan sebuah ponsel berjenis Android. “Ini ponsel milik korban. Saya meminta izin pada istrinya untuk meminjam hape ini selama beberapa hari. Dan ini yang ingin saya tunjukkan pada Pak Hakim juga semua orang yang berada di sini.”

Kevin menggunakan proyektor untuk menampilkan sebuah video rekaman, yang mana isinya adalah isi chat korban dengan tersangka.

“Di sini memang bisa kita lihat kalau mereka sempat salah paham. Chat Pak Haikal dan Pak Imran masih tersimpan tanpa satu pun pesan yang dihapus,” terang Kevin dengan tangan yang bergerak menarik turunkan layar. “Akan tetapi yang terasa janggal adalah, kenapa saya tidak menemukan wall chat Pak Imran dengan Pak Aldi?”

Lelaki bernama Aldi itu masih terlihat tenang, berpikir jika Kevin hanya sedang menggertaknya.

“Pertanyaannya, apa mungkin selama bertahun-tahun pertemanan Anda dengan Pak Imran, Anda tidak pernah berkomunikasi sama sekali lewat pesan?” tanya Kevin.

“Mungkin Imran sudah menghapus chat kami sebelum dia dibunuh,” dalih Aldi.

“Ah, kalau begitu bolehkah saya melihat ponsel Anda untuk memas—“

“Kebetulan hape saya rusak, jatuh beberapa hari lalu,” sela Aldi.

Kevin menganggukkan kepala. “Baiklah, sangat disayangkan. Kenapa harus rusak di saat seperti ini?” ujarnya diakhiri senyum tipis, lalu mengembuskan napas. “Sayangnya, Pak Imran tidak tau, jika file yang dihapus dari ponsel sesungguhnya tidaklah hilang dari perangkat. Mereka masih tersimpan sebagai sampah.”

Raut wajah Aldi sedikit berubah, kedua matanya membeliak. Terlihat mulai ada kecemasan yang berusaha dia tahan.

“Aldi ... jika kamu memiliki dendam ... pada Haikal, kenapa harus menjadikan aku ... sebagai tumbal?” Suara itu terdengar berat dengan napas terengah-engah.

Sugar Baby Titipan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang