Persahabatan

36 1 0
                                    

Keesokan harinya, Ning pulang sekolah. Setelah berganti pakaian dan makan siang, ia menemui ibunya di dapur.

"Bayu dan Ratna ke mana, Bu?" tanya Ning seraya mengambil plastik keripik.

"Lagi main di rumah Bi Warsih," jawab Mini sambil mengaduk keripik di atas kompor.

Bi Warsih adalah seorang perempuan berumur lima puluh tahunan yang rumahnya tidak jauh dari kediaman orang tua Ning. Ia tidak punya anak. Bayu yang berusia dua tahun dan Ratna yang terpaut satu tahun lebih muda kadang dititip apabila Mini sedang repot. Dengan senang hati, ia mengasuh adik-adik Ning. Waktu masih kecil, Ning juga sering diasuh olehnya.

"Ini uang hasil jualan hari ini. Ning taruh di atas meja ya, Bu." Ning mengeluarkan uang dari tasnya.

"Kamu simpan saja. Kemarin tabungan kamu pasti banyak terpakai buat piknik."

"Tidak, Bu. Uang piknik sudah ada yang bayarin."

"Siapa yang bayarin?"

Belum sempat Ning menjawab, terdengar pintu depan dibuka. Ning menuju ruang depan untuk mengetahui siapa yang datang.

"Bapak...? Kok, sudah pulang?" tanya Ning heran.

Lelaki yang dipanggil bapak oleh Ning itu tidak menjawab. Ia langsung duduk dengan wajah pucat dan napas tersengal-sengal sambil memegang perut, tampak kesakitan.

Biasanya sang ayah pulang dari kebun selepas Ashar. Namun, kali ini entah mengapa pulang lebih awal.

"Ning ambilkan minum dulu, ya." Ning bergegas ke dapur. "Bu, Bapak sudah pulang."

"Kamu pegang ini sebentar. Itu biar Ibu saja." Mini meminta Ning melanjutkan menggoreng keripik sementara air minum diambil alih olehnya.

Hernia yang diidap Darsa rupanya kambuh. Ia pulang lebih dulu dari sawah karena sudah tidak kuat lagi. Sudah sering Mini ingatkan agar tidak bekerja berat. Namun, apa daya hanya itu pekerjaan yang tersedia saat ini dan keahliannya pun memang mengurus sawah dan ladang.

Melihat keadaan Darsa, Mini khawatir kalau penyakit Darsa kambuh dan harus kembali dibawa ke rumah sakit. Siapa yang akan bekerja untuk menghidupi keluarganya? Penghasilannya dari menjual keripik dan kacang goreng tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya yang kian hari kian bertambah karena anak-anaknya semakin besar.

Dulu, Mini ikut bekerja di sawah bersama suaminya. Namun, kini tidak bisa ia lakukan lagi. Anak-anaknya masih kecil-kecil. Jadi, tidak bisa ditinggal terlalu lama. Ia ke sawah hanya sesekali di waktu-waktu tertentu, terutama musim panen. Saat itu, di sawah sedang membutuhkan banyak orang.

Sementara itu, Maya, ibu Salsa tidak pernah mengungkit-ungkit titipan pemberiannya untuk membantu murid yang belum membayar uang piknik. Sepertinya ia sangat percaya pada anaknya.

Kedekatan Salsa dan Ning berlanjut. Kini, mereka duduk sebangku. Entah bagaimana, keduanya merasa ada kecocokan dan kesamaan. Dimana ada Salsa di situ ada Ning.

Hubungan persahabatan Kedua gadis itu membuat iri teman-temannya, terutama anak-anak yang biasa dekat dengan Salsa. Bagi mereka, Salsa sudah berubah, tidak lagi mau menghabiskan waktu bersama mereka. Sekalipun bisa berkumpul, pasti harus mengajak Ning.

Suatu hari, Dina mengajak Ning untuk belajar bersama dengan rencana dilanjutkan main.

"Sa, Nanti sore kita belajar bareng, yuk! Setelah itu, kita main di rumahku," ajak Dina penuh semangat.

"Maaf ya, Din. Tapi, sore ini aku mau temani Ning jualan keripik. Lain kali aja, ya." Salsa menolak dengan halus.

"Kenapa sih, Sa? Sekarang, setiap kali aku ajak, pasti gak mau. Kamu lebih milih sama Ning. Aku, Ratna, Rani kan teman kamu sejak lama." Dina tampak kesal.

"Tidak kenapa-napa, Din. Saat ini aku memang sedang tidak bisa."

Senyum Salsa menghias wajahnya yang cantik. Namun, itu tidak membuat suasana hati teman-temannya menjadi tenang.

"Baiklah kalau begitu. Ayo Rat, Ran!" Dina berlalu dari hadapan Salsa bersama Ratna dan Rani yang sejak tadi berdiri di sampingnya.

Kekesalan Dina dan teman-temannya sungguh beralasan. Salsa adalah teman belajar yang baik. Ia dengan sabar membantu teman-temannya yang belum paham pelajaran di sekolah, sehingga siswa yang sering belajar bersama dengannya memiliki nilai yang baik.

Namun, Salsa juga tidak bisa membantu temannya seisi kelas. Hanya beberapa orang saja yang ia ajak belajar bersama. Biasanya, Dina, Ratna dan Rani tak pernah ketinggalan belajar bersama Salsa.

Langkah Dina begitu cepat meninggalkan Salsa. Ia bergegas hendak menuju ke luar kelas disusul oleh kedua temannya.

Dari arah berlawanan, tampak Ning hendak masuk kelas.

"BRUK!!"

Dina menabrak Ning cukup keras sehingga keripik dan kacang yang dibawa di kantong plastik jatuh berhamburan.

"Ini gara-gara kamu!" ujar Dina pada Ning dengan geram.

Ning melongo keheranan. Alih-alih minta maaf, Dina malah mengatakan sesuatu yang ia tidak mengerti maksudnya.

Melihat kejadian itu, Salsa segera menghampiri Ning.

"Kamu tidak apa-apa, Ning?"

"Tidak apa-apa," jawab Ning sambil membereskan barang dagangannya yang berantakan di lantai. Beberapa bungkusnya ada yang pecah sehingga isinya keluar.

"Dina, tunggu!" panggil Salsa.

Mendengar suara panggilan Salsa, Dina yang sedari tadi bergegas, menghentikan langkahnya. Ia tersenyum, disangkanya Salsa berubah pikiran dan akan bergabung untuk belajar bersama nanti sore.

"Iya, Sa."

"Ke mari!"

Dengan segera, Dina mengikuti langkah Salsa, tak ketinggalan Lala dan Rani. Mereka berhenti di hadapan Ning yang sedang menyapu remah-remah keripik.

"Kamu minta maaf sama, Ning."

Dina terdiam. Hatinya masih kesal.

"Ayo!" desak Salsa.

"Eh, iya, iya," sahut Dina. "Maafkan aku ya, Ning," lanjut Dina seraya mengulurkan tangannya untuk bersalaman disambut oleh tangan Ning.

"Iya tidak apa-apa, Din," ujar Ning ikhlas.

"Keripik yang rusak bagaimana, Ning?" tanya Salsa.

"Tidak apa-apa. Cuma dua bungkus, kok."

Dalam hatinya, sebenarnya Dina Enggan meminta maaf pada Ning. Namun, karena berharap bisa dekat lagi dengan Salsa, ia melakukannya dan memang sudah seharusnya ia meminta maaf.

"Teng, teng, teng!"

Suara lonceng tanda pelajaran di mulai berbunyi. Anak-anak bersiap menuju bangkunya masing-masing termasuk Ning dan Salsa.


Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang