Iya, Daripada Tidak Ada

23 3 0
                                    

Pagi itu Ning baru pulang dari pasar sambil menenteng barang belanjaan untuk keperluan warung. Lumayan berat tampaknya. Ia dibantu tukang ojek langganannya.

"Assalamualaikum." Ning mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam."

Ning sedikit terkejut ada dua orang yang menjawab salamnya. Tampak Indra dan ibunya sedang duduk semeja. Percakapan mereka terhenti. Indra segera membantu Ning mengangkat barang ke dalam.

"Jangan, Mas! Biar saya saja. Nanti bajunya kotor," cegah Ning merasa tidak enak hati.

"Tidak apa-apa, Teh," Sahut Indra seraya tersenyum.

"Terima kasih, Mas," ucap Ning seraya berlalu ke dapur.

Mini menyusul putrinya ke dapur.

"Rencana ibu berhasil. Dia bersedia." Mini setengah berbisik.

"Rencana apa ...? Bersedia buat apa?" Ning bertanya-tanya.

"Dia mau nikah sama kamu."

"Menikah?!" pekik Ning.

"Ssstt! Jangan keras-keras!"

Ning menutup mulutnya lalu berkata, "Ibu tidak tanya saya dulu?"

"Justru itu. Dia mau tanya kamu, Nak. Ayo temui dia! Ibu tunggu di sini."

"Sekarang, Bu?"

"Iya sekarang. Bawa ini." Mini memberikan teh manis hangat di gelas belimbing dengan tatakan piring kecil.

Ning mengambil teh manis itu. Dengan langkah ragu ia menuju di mana Indra duduk. Di tengah langkahnya ia berhenti dan menoleh pada ibunya. Sang ibu memberi isyarat agar anaknya lanjut berjalan.

"Teh, Mas." Ning menaruh teh manis di hadapan Indra.

"Eh, iya, Teh," sahut Indra kikuk.

Setelah itu, Ning duduk di hadapan Indra. Ia tidak bertanya atau bicara apa-apa. Diam menanti pemuda di hadapannya berbicara.

Indra menarik napas Panjang, "Teh ..., setelah saya pertimbangkan .... Eh, Teteh mau nikah sama saya?"

Seketika itu, rasanya jadi tidak karuan. Ning menunduk. Ia tidak berani menatap lawan bicaranya. Pemuda yang jauh lebih muda melamarnya. Apakah dia harus langsung mengatakan iya atau jual mahal dulu. Minta waktu.

Dalam kegalauannya, ia merasa butuh dukungan. Ning menoleh pada ibunya. Kemudian Mini memberi isyarat dengan anggukan halus.

Ning kembali menghadapkan wajahnya pada Indra. Mungkin ini akhir penantiannya. Pencariannya selama ini mencapai titik temu. Kalau kali ini ia tolak, entah kapan lagi kesempatan itu akan datang kembali.

Salah satu pertimbangan Ning adalah umur Indra yang jauh di bawah dirinya bahkan lebih muda dari adik-adiknya.

"Iya, Mas. Saya mau," jawab Ning pelan.

Jawaban Ning sangat melegakan bagi Indra. Kini senyumnya tampak lebih lepas. Tidak seperti sebelumnya yang terlihat tegang.

Melihat suasana sudah cair, Mini menghampiri dua ke meja depan dengan membawa piring berisi makanan.

"Pisang gorengnya, Nak Indra. Silakan, mumpung masih hangat," ujar Mini.

"Iya, Bu." Indra mengambil sepotong pisang goreng.

"Ning, tolong bantu Ibu di belakang," pinta Mini.

"Iya, Bu." Ning beranjak.

Sebelum Ning meninggalkan meja itu, Mini berbisik pada putrinya, "Selanjutnya, biar Ibu yang urus."

Dua RembulanWhere stories live. Discover now