5.A | Pengemis

26 9 1
                                    

I'am come back!
Gimana, rindu? Enggak? Oke.
Buat yang rindu, i miss you too! ♡

Malas ngoceh, jadi langsung aja happy reading!

¢¢¢

“BU, sebelumnya maafkan saya. Saya ingin menyampaikan kalau Mika sayang Ibu, Mika ....” Kamu menggantungkan ucapan, menatap Fina dengan sorot permohonan; semoga dibebaskan.

Menghembuskan napas kasar, kamu melanjutkan, “Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu nemenin Mika, Ibu yang selama ini selalu support Mika. Katanya, andai kalau Ayah masih ada, Mika pasti bisa berobat lagi ke dokter dan bisa makan enak. Kalau Ayah masih ada, kemungkinan Mika bisa sembuh karena menjalani pengobatan.” Kamu tersenyum simpul. “Gak kayak sekarang, dibiarin begitu aja.”

Fina bergeming.

“Hidup itu sekadar tempat singgah, di mana kita masih punya tempat berpulang. Kita di sini sebagai tamu, suatu saat kita pasti akan pulang ke rumah yang abadi.” Entah sejak kapan, kamu bisa berkata sebijak ini.

“Kamu—”

“Bu, hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Siapa pun yang mati, bukan berarti karena dibunuh, 'kan? Sebab jika sudah waktunya mati, sejauh apa pun dan serapat apa pun kita sembunyi, bakal tetep mati.” Kamu menyela ucapan Fina. Kali ini netra matamu menatap penduduk yang berdiri mengelilingimu satu persatu.

Mereka bungkam, tidak berani berucap apa pun.

“Sedangkan kalau belum waktunya mati, mau dibunuh dengan cara apa pun, disiksa sekejam apa pun, bakalan tetep hidup. Paling badannya sakit-sakit terus nanti masuk rumah sakit. Kalau mati, ya sudah waktunya mati.”

Tatapanmu kembali tertuju pada Fina. “Untuk apa saya mau menemani Mika bermain bahkan belajar, kalau saya mau bunuh dia? Kalau emang saya bunuh Mika, kenapa gak langsung dibunuh aja waktu pertama kali ketemu? Oh atau langsung bawa kabur aja, culik. Posisinya Mika seperti mudah dirayu, dan saya dianggap orang gila—oh karena pakaian saya seperti orang gila, bukan berarti saya gila.”

Kamu mendengkus. “Kalau saya yang bunuh Mika, buat apa saya anterin Mika ke rumah Ibu,” tandasmu.

Memasang senyum sarkas. “Sampai sini paham, Bu?” tanyamu.

Fina berdeham pelan, sementara penduduk mulai berbisik-bisik. Kebanyakan mengatakan, “Iya ya, benar juga.”

“Yasudah,” kata Fina pendek.

Kamu mengerjap. “Gitu aja, Bu?” Tidak habis pikir, padahal kamu sudah berbicara panjang lebar.

“Iya. Kamu diloloskan. Maafkan Ibu, Dek. Terima kasih udah bikin Mika tertawa di masa-masa terakhir kehidupannya,” imbuh Fina, wanita itu memasang senyum tipis. Mendekat, lalu menepuk puncak kepalamu dua kali. “Maafkan Ibu,” ulangnya.

Matamu berkaca-kaca. Bukan perihal kamu yang tidak jadi dibunuh, melainkan karena tepukan lembut di puncak kepalamu. Terharu.

Kamu mengangguk samar. “Maaf kembali, Bu. Makasih,” balasmu.

Detik itu, penduduk bubar begitu saja. Mereka, sang penikmat suasana, pergi setelah hal yang terjadi tidak sesuai ekspetasi.

¢¢¢

Kamu menghembuskan napas panjang. Berjalan gontai, kaki sesekali menendang batu yang dijumpai. Kamu lebih berantakan dari sebelumnya. Mata sayu didominasi dengan wajah dipenuhi peluh, lalu dipadu padankan dengan pakaian lusuh yang sudah sobek di beberapa bagian.

KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang