#1 Hujan Bulan Januari

644 75 1
                                    

Azelyn Adista tidak suka ketinggian.

Dia selalu merasa pusing jika melihat ke arah bawah dari atas ketinggian. Kakinya selalu terasa kaku untuk sekedar bergeser sedikit. Matanya selalu sayu untuk terbuka melihat sekeliling. Azelyn selalu merasa takut.

Namun, untuk kali ini. Ketinggian jembatan penyebrangan jalan raya tidak berarti apa-apa bagi Azelyn. Pagar besi hampir berkarat karena keseringan bertemu titik hujan di bulan Januari. Azelyn meraba telapak tangannya terdapat sisa-sisa besi yang sudah mengelupas.

Pukul sepuluh malam di Kota Jakarta masih ramai. Azelyn pernah berpikir bahwa Jakarta adalah kota yang tidak akan beristirahat sebelum semuanya selesai.

Mungkin Azelyn pikir seperti itu dan akan terus berlanjut sampai titik dimana semua tampak berantakan. Lalu Azelyn akan membenci kota Jakarta karena sudah merebut waktu yang dimiliki tanpa sisa.

Azelyn selalu tidak merasa puas atas pencapaian yang dimiliki.

Hingga pada titik dimana Azelyn merasa kacau. Mungkin dia pikir jika  terjun dari ketinggian 6 meter, semua akan berakhir dan dunia Azelyn selesai.

Gadis duapuluh tahun itu mencengkram erat pagar pembatas besi, memejamkan matanya, sampai pada detik selanjutnya —sebuah tepukan di pundak Azelyn membuat dunia terasa sekejap berhenti.

"Mbak, jangan dipinggir gini. Abis hujan, jembatannya jadi licin. Nanti jatuh."

Diujung bulan Januari, pukul sepuluh malam, dan berjalannya usia duapuluh tahun hidup di bumi—Azelyn baru saja mendengar kata-kata sederhana yang baginya sudah cukup merasa tenang.

Kemudian bagaimana mata mereka saling bertemu. Azelyn untuk pertama kalinya tertegun. Lelaki itu berperawakan lebih tinggi darinya, kaos putih basic, kemeja flanel kotak-kotak warna merah maroon, celana jeans hitam, dan sepatu Converse kuning basic agak lusuh karena jarang dicuci.

"Mbak sendirian aja, emang temen-temennya pada kemana? Jangan terlalu sering jalan sendirian, apalagi udah malem gini. Banyak kasus kejahatan yang bisa ngintai Mbaknya," katanya.

Azelyn masih terdiam.

Lelaki itu kemudian tersenyum kecil. "Kalau gitu, saya lanjut jalan, ya? Hati-hati, Mbak."

Selanjutnya lelaki itu mengambil langkah pergi, tetapi Azelyn malah mencekal tangannya membuat lelaki itu terhenti dan menoleh ke arah Azelyn.

"Mas, bisa anterin saya pulang, nggak? HP saya lowbat, nggak bisa mesen gojek."

Dan untuk kedua kalinya lelaki itu tersenyum kembali.




bersambung

[✓] Hello, Goodbye! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang