#7 Seberang Jalan Sana

186 44 1
                                    

Dari dulu, Azelyn tidak diperbolehkan menangis, katanya menangis tanda bahwa seseorang itu lemah dan tidak bisa melawan. Apapun hasilnya, semua adalah takdir. Jadi kalau Azelyn menangis, berarti dia tidak bisa menerima takdir yang seperti itu.

Hal ini yang membuat Azelyn selalu bingung mengutarakan perasaan yang sudah lama tertahan dalam lubuk hati. Entah perasaan marah, kecewa, sedih, atau bahagia —Azelyn tidak akan pernah paham.

Dan akan selalu seperti itu.

Namun ketika bertemu Jinan, Azelyn akhirnya paham bahwa menangis bukan karena dia lemah, tetapi karena Azelyn sudah melewati beberapa proses—meskipun akhirnya selalu gagal.

Dipinggir jalan raya, pukul sepuluh malah. Kendaraan berlalu lalang, seolah ada yang harus dicapai. Di samping gerobak soto, mereka duduk berdampingan dengan sepoi angin malam yang terasa agak dingin.

"Gue anak yang gagal."

Azelyn membuka konversasi. Pandangannya masih lurus menatap jalan raya, ada satu titik dimana fokus atensi Azelyn terkunci: tiang listrik yang menjuntai ke atas di seberang sana.

"Gue juga."

Hening.

"Tapi sadar nggak, sih, kalau lo nggak pernah bersyukur," Jeda, "makanya bisa ngomong gitu."

Gadis itu sedikit tertegun.

"Kita cuma perlu bersyukur biar hidup tetep waras. Kalo lo nggak bersyukur, yang ada lo makin jadi orang tolol dan suka nyalahin keadaan. Tandanya ... lo belum cukup berhasil buat survive kehidupan," sambung Jinan. "Sekalipun lo nyalahin semesta gara-gara kehidupan lo nggak pernah bahagia, itu nggak bakal ngaruh apa-apa. Coba, deh, pikirin satu hal aja yang bikin lo pengen coba lagi dan lagi?"

Azelyn tampak berpikir sejenak. "Gue pengen nikah."

Entah afeksi apa yang membuat Jinan menahan dengusan, lalu menipiskan bibir. "Gue kira, orang yang punya trust issue soal keluarga nggak kepengen nikah gara-gara praktik dan teori sama-sama bisa dilihat pake mata kepala sendiri."

Dan Azelyn pun tertawa kecil. "Gue cuma pengen memperbaiki apa yang udah dirusak. Nggak salah 'kan kalo tiba-tiba kepikiran buat nikah?"

"Nggak ada yang salah. Jadi, tandanya lo harus apa?" tanya Jinan sekali lagi.

Ada jeda singkat melingkupi, "Nyari calonnya dulu?"

Dan tawa Jinan akhirnya meledak. "Tandanya lo harus bisa survive, Azel. Lo harus capai semua itu, atau kalau bisa—tulis semua harapan lo yang bakal dicapai. Kalau gue biasanya nulis di binder dan ditaruh ke lemari biar nggak dibaca Yesha. Dia anaknya usil banget, makanya gue suka kesel kalau catatan harian gue dibaca sama Yesha."

"Oh, iya?" Azelyn tertawa kecil, "bahkan cowok kayak lo bisa nulis catatan harian, ya?"

"Biar suatu saat bisa dikenang. Kalo gue lupa, gue bisa baca catatan itu. Terus gue jadi inget kalo pernah sebahagia dan sesedih itu."

"Emangnya lo nggak punya temen cerita?"

Jinan tampak berpikir, menaruh mangkuk soto yang sudah habis di atas kursi sebelah. "Manusia kadang nggak bisa dipercaya, seenggaknya 80%. Makanya tiap cerita harus gue tulis, itung-itung buat nambah kosa kata."

"Oh, pantes. Nggak salah lo mikuh jurusan pendidikan." Azelyn mendengus kecil, menendang kerikil kecil di bawah kursi, "Cuma lo yang bikin gue ngerasa jadi manusia seutuhnya."

Cuma Jinan.

Dan satu detik terasa selamanya, pandangan Jinan terkunci pada bulu mata lentik, lalu turun ke serbuk bedak di ujung pangkal hidung, dan berakhir pada bibir kering merah jambu milik Azelyn.

Napas Jinan seolah tercekat, jemarinya tanpa sadar terulur menyibak halus anak rambut Azelyn yang menutupi kelopak mata.

Tentu sentuhan ringan itu membuat Azelyn sedikit tersentak dan memalingkan wajah yang sudah bersemu kemerahan.

"Sorry, alam bawah sadar gue suka ngelakuin hal-hal yang bikin orang jadi kaget," ungkap Jinan sama-sama mengalihkan pandangannya. "Lo udah kelar makannya?"

"H-Hah... I-ini udah, kok...," Azelyn juga bingung kenapa logat bicaranya agak berantakan, "mau pulang sekarang?"

"O-oh, ok-ke."

Percaya saja, Jinan seperti orang tolol yang baru saja kepergok melakukan secuil kejahatan.

•••

Neira: lo kemana lagi? kamar lo juga kosong.

Terhitung mulai lima belas menit yang lalu bubble chat itu belum dijawab oleh si penerima. Azelyn merebahkan tubuh—menatap langit-langit kamar yang diisi gradasi bintang-bintang kecil tampak kontras dengan cat ternit di atas sana. Sementara gadis SMA di sampingnya sudah terlelap dalam alam mimpi.

Azelyn menghela napas kasar, membanting handphonenya ke atas nakas di samping. Lalu posisinya memunggungi Yesha. Mata Azelyn sudah tampak lelah, tetapi sulit sekali untuk memejamkan mata.

Entah apa yang ada dipikirannya sekarang. Azelyn selalu kalut dalam dunianya sendiri.

Tiba-tiba bunyi dering telepon membuat pikiran Azelyn menjadi buyar. Atensinya tertuju pada benda pipih itu, lalu mengambil sekaligus mengecek notifikasi. Ternyata Neira yang menelponnya. Ingin menekan tombol merah, tetapi lagi-lagi perasaan ragu kembali melingkupi.

Jadi pilihan terakhirnya, Azelyn memilih mengangkat telepon tersebut sembari meninggalkan unit apartemen ke pelataran taman yang berada di puncak rooftop.

Lanskap Kota Jakarta terlihat tenang dengan gemerlap lampu yang masih menyala, tanda bahwa pemiliknya belum cukup untuk beristirahat.

"Ini udah jam 12. Lo kemana?"

Azelyn sedikit menjauhkan handphone dari telinga, karena suara Neira mampu merusaknya.

"Lo masih idup, kan? Jangan macem-macem, ya, lo! Cepet kasih tau gue, lo dimana sekarang?!"

"Gue ... lagi di rumah temen," sahut Azelyn dengan jeda singkat.

Terjadi keheningan sesaat hingga terdengar dengusan kecil di seberang sana. "Zel, coba lo bohong dikit aja."

Kening Azelyn mengernyit, "Gue ... suka fresh milk."

"Okay. Berarti yang tadi beneran boong. Coba lain kali perhatiin gaya bicara lo biar nggak kelihatan banget boongnya," sungut Neira, "cepet, lo dimana sekarang?"

"Di apart-nya anak PGSD'21," jawab Azelyn secepatnya. "... cowok. Sorry."

"What the—KIRIM ALAMATNYA SEKARANG, NGGAK?"

"Dia anaknya baik, please," ralat Azelyn, "Nggak neko-neko. Jadi lo nggak usah khawatirin gue. Gue bisa jaga diri."

"Emang cowok mana yang nggak jadi brengsek kalo satu unit sama cewek yang gampang dikibuli kayak lo?" Neira membuang napas kasar, "emang apa, sih, yang bikin lo jadi minggat dari kost? Siapa yang nyuruh? Bukannya dulu lo sering mohon-mohon biar ngasih tempat tinggal?"

"Gue sengaja mau pindah kost. Maaf."

Terdengar helaan napas pasrah, "Lo punya temen berapa, sih? Nekat banget mau jauh-jauh dari gue."

"Ada. Satu. Jinan. Bagi gue, dia udah cukup banyak buat bantu gue."

"Itu karena lo nggak pernah mau cerita sama gue, Zel," Jeda, "emangnya selama ini, gue dianggap apa, sih, sama lo? Cuma tetangga kost sekaligus temen kerja part time lo doang?"

Genggaman handphonenya mengerat, Azelyn terasa sesak untuk saat ini. "Maaf. Gue tau, gue salah—"

"Kirim alamatnya sekarang. Nanti gue jemput besok, sekalian cariin lo kost yang baru."

Panggilan ditutup sepihak oleh Neira. Azelyn menatap nanar pada layar handphone yang gelap.

Dibalik dunianya yang berantakan, setidaknya masih ada beberapa orang yang memedulikan Azelyn. Dan jahatnya lagi, Azelyn selalu melupakan keberadaan mereka.




bersambung

[✓] Hello, Goodbye! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang