#17 Titik Jenuh Seseorang

182 40 3
                                    

Tribun fakultas keguruan sepi. Hanya ada Jinan dan pikirannya yang kosong. Hampir dua jam menunggu mata kuliah selanjutnya, Jinan memilih untuk diam disini. Tanpa celotehan sok tahu dari orang-orang ataupun guliran layar handphone.

Hanya Jinan, dirinya sendiri.

Hingga pada sekon berikutnya, sebelah pipinya terasa dingin karena kaleng soda baru saja diambil dari mesin pendingin di koridor fakultas. Pelakunya tak lain adalah lelaki berhoodie abu-abu dengan senyum tengilnya —duduk di sebelah Jinan. Sementara Jinan menerima kaleng soda non-alcohol itu.

"Ada yang ganggu pikiran lo?"

Itu suara Ajun dengan ke-sok-tahu-an-nya.

"Ya lo pikir aja." Jinan tertawa kecil, membuka kaleng soda dan meminumnya sedikit demi sedikit. "Rasanya kayak aneh banget, Jun."

"Sorry. Gue nggak tahu jenis minuman anak konglomerat itu gimana," celetuknya dibalas pukulan di bahu oleh Jinan.

"Bukan soal kaleng soda, Jun—"

"Soal Jaden atau Azel?"

"Kenapa lo mikir kedua nama itu sering ganggu pikiran gue?"

"Karena masalah lo sama mereka belum kelar," sahutnya santai, membuka kaleng soda dan meminumnya —tanpa menatap Jinan yang masih menatap dirinya. "Dunia lo, Jaden, Yumna, Azel. Cuma muter-muter doang."

"Gue juga bingung."

"Yang bikin rumit adalah rasa gengsi lo," cerca Ajun. "Lo suka siapa?"

"Jun—"

"Yumna atau Azel?"

Jinan bungkam. Dia tidak bisa menjawab selain diam seribu bahasa. Lalu Ajun tertawa kecil. Padahal kalau dipikir, pertanyaan Ajun bukan perkara soal matematika.

"Gue suka Azel. Ini pertama kalinya gue suka sama cewek, tapi sayang —ceweknya itu Azelyn Adisti," imbuh Ajun mendengus kecil. "Dari sekian banyaknya manusia yang gue temui, cuma dia yang bersinar dimata gue."

"Kenapa lo ngasih tau ini ke gue?"

Pertanyaan itu membuat Ajun lagi-lagi tertawa.

"Ya karena gue cuma pengen ngasih lo pilihan aja."

"Pilihan apa?"

"Kalo lo kejar Yumna, lo bakal kehilangan Jaden. Tapi kalo lo kejar Azel, lo nggak bakal kehilangan pertemanan kita."

Jinan mendengus. "Kenapa lo berpikir—"

"Karena gue tau Azel suka sama lo."

Hening. Napas Jinan seolah tersekat di rongga tenggorokan. Genggaman pada kaleng soda menguat. Matanya tiba-tiba perih.

Mungkin dari itu semua yang baru Jinan sadari adalah dirinya sudah jatuh cinta pada dua orang dalam waktu bersamaan.

•••

Pikiran Jinan semakin kalut, bahkan ketika langkahnya sampai di pelataran gedung rumah sakit. Namun, matanya tanpa sengaja melihat sosok gadis yang kesusahan menjalankan kursi roda karena terhalang bebatuan kecil.

Langkah kecil Jinan membawanya kesana, berinisiatif membantu gadis itu yang tengah sendirian di taman samping. Melihat perlakuan spontan dari Jinan untuk mendorong kursi roda, gadis itu tersentak.

"Lama nggak ketemu, Na." Jinan tersenyum kecil.

Yang diajak bicara hanya mendengus kecil.

"Lo mau kemana? Biar gue anter sekalian," tanya Jinan selanjutnya.

Sementara Yumna memperhatikan jemari kukunya yang rapi, "Kemana aja. Asal bukan di kamar."

Jinan berhenti melangkah. "Lo nggak mau nanya soal apapun?"

"Nanya apalagi, Ji?"

Lelaki itu tersenyum kecil. "Ternyata lo masih inget nama gue. Seneng dengernya."

Yumna mendecih, diam-diam menipiskan bibir. "Jinan Wihayudha. Anak basket kesayangan orang-orang, yang namanya terjebak di peringkat akhir."

Lalu Jinan ikut tersenyum. Kembali berjalan mengelilingi taman ruman sakit. Pepohonan hijau dan bau obat-obatan saling mendominasi sore ini.

"Jinan, gue mau minta maaf."

"Soal apa?"

"Semua. Gue rasa, gue udah jahat sama lo. Gue udah denger semua dari Jaden. Jadi—"

"Jaden cerita apa aja soal gue?" Jinan menyela dengan kernyitan di kening. "Dia nggak ngomongin hal-hal jahat soal gue, kan?"

Pertanyaan Jinan membuat Yumna tertawa kecil. "Justru peran lo buat gue cukup sampai sini aja, Ji. Lo nggak perlu lakuin itu semua lagi. Karena kalo lo sama gue, yang ada lo nggak bisa bebas. Termasuk soal perasaan."

Seolah ada yang menusuk dada Jinan, napasnya kembali sesak.

"Jaden juga pengen minta maaf sama lo, tapi dia nggak berani buat ketemu sama lo, Jinan."

Namun yang kali ini Yumna ucapkan, membuat Jinan sekali itu terdiam. Ada banyak pertanyaan yang menjalar, membuat langkahnya tiba-tiba terhenti.

Bersamaan pula dengan sepasang sepatu hitam berdiri tak jauh dari keberadaan mereka. Lekuk samar dari pemuda kelahiran Semarang yang melambaikan tangan ke arah mereka.

"Gih, sana. Temuin Jaden." Gadis itu tersenyum menatap Jinan yang terpaku di tempat.


bersambung



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✓] Hello, Goodbye! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang