(3)

2 0 0
                                    

Hari-hari Sandhya berjalan begitu mulus setiap harinya, bahkan hampir tidak pernah ada kerikil yang menghalangi jalannya.

Sampai hari ini tiba, hari kelulusan kelas 12. Yang artinya Asa akan meninggalkan sekolah ini, dan meninggalkan Sandhya di sini.

“San, percaya sama aku. Walaupun aku gak selalu ada di dekat kamu lagi, tapi hati aku akan selalu sama kamu. Udah, jangan nangis. Kita kan masih bisa ketemu di luar sekolah setiap hari.” Asa menghapus jejak air mata pada kedua pipi Sandhya, lalu ia menarik Sandhya ke tengah lapangan.

“Guys! Kumpul sebentar, gue mau bilang sesuatu!” Semua orang berkumpul mengikuti arahan dari Asa, kemudian ia berjongkok tepat di depan Sandhya.

“Kak? Ngapain?” Sandhya sebenarnya sudah tau apa yang akan dilakukan kakak kelasnya itu, tetapi ia masih ragu dan takut salah prediksi.

“Semua orang yang lagi lihat kita di sini tahu, kalau kamu wanita terbaik yang aku punya setelah Ibu. Semua orang tahu, kalau aku sudah jatuh sejatuh-jatuhnya sama wanita si pengagum senja. Aku yakin, kamu juga tahu akan hal itu.” Asa merogoh saku almamaternya lalu mengeluarkan kotak persegi berwarna merah.

“Dan aku mau semua orang tahu, kalau kamu akan terima aku sebagai calon pendamping hidup kamu.” Asa membuka kotak itu, menampilkan kilauan dari cincin emas yang sangat indah.

Sandhya tentu saja terkejut. Ia kira Asa hanya akan mengungkapkan perasaannya, bukan melamarnya seperti ini.

“Kak? Kamu lagi syuting dokumentasi hari kelulusan kan?” Saking tidak percayanya, ia jadi bicara yang tidak masuk akal.

Asa tertawa, lalu ia berdiri dan mengambil cincin itu dari kotaknya, lalu memasukkan kembali kotak pada saku almamaternya.

Asa meraih tangan kanan Sandhya, “Cukup bilang 'I love you' kalau kamu izinin aku buat sematkan ini di jari manis kamu.”

“Kalau aku gak izinin?” Wajah Asa berubah lesu, padahal bukan kalimat itu yang Asa harapkan.

“Kamu bisa tampar aku, San.”

Tanpa ragu sedikitpun, Sandhya menampar wajah Asa dengan tangannya sendiri. Sontak hal itu membuat para siswa di sana bingung dengan aksi Sandhya. Bahkan Asa ikut bingung, kenapa Sandhya melakukan ini padanya?

Asa masih terpaku. Ia tidak melihat Sandhya, hatinya seperti tertusuk pedang yang baru saja diasah.

“Hey, I love you.”

Sudut bibir Asa mengembang, ia tidak habis pikir dengan kejahilan gadis di depannya ini.

Semua orang langsung bersorak saat Sandhya mengakatan itu. Asa tidak berpikir panjang, ia langsung memeluk pujaan hatinya.

“I love you too!” seru Asa.

Asa melepas pelukannya, ia langsung meraih tangan Sandhya dan menyematkan cincin di jari manis Sandhya, sungguh indah.

Hadiah terindah bagi Asa di hari kelulusannya bukan tentang nilai berapa yang ia dapat, tapi dengan siapa ia bisa merayakannya.

Asa memasuki rumahnya yang terlihat begitu sepi. Memang sudah biasa seperti ini, bahkan ia tidak punya teman satupun untuk menemaninya di rumah.

“Maksud kamu apa Asa?!” teriak Nova — Ibu kandung Asa, ia menampar Asa yang baru saja pulang.

“Kamu udah bisa seenaknya ya sekarang! Main sama cewek sampai kamu lamar di sekolah kayak gini! Bagus kamu kayak gitu, hah?!” Asa mengepalkan tangannya, ingin sekali ia membalas amarah Ibunya, tetapi tetap ia tahan sampai marah Ibunya selesai.

“Ibu pikir kamu paham kenapa Ibu bebasin kamu! Tapi ternyata apa? Apa yang kamu kasih ke Ibu sama Bapak selama ini? Gak ada! Kamu semakin bebas dan main sama cewek gak jelas itu! Hidup kamu mau jadi apa Asa?!”

“Sandhya bukan cewek gak jelas, bu.”

“Oh, jadi Sandhya nama cewek itu. Dia kan yang udah bikin kamu terus-terusan keluar malam? Pasti dia kan yang buat kamu jadi berandalan kayak gini?!”

“Asa berandalan gimana sih Bu?”

“Sa, kamu gak sadar selama ini kamu buat Ibu sama Bapak malu! Kamu pikir dengan kamu main terus dan pulang malam, Ibu sama Bapak gak diomongin? Semua orang di sini bilang kalau Ibu sama Bapak gak mengurus kamu dengan baik!”

“Ibu ngerasa ngurusin Asa dengan baik?”

Jantung Nova seperti berhenti kala pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya.

“Semua orang bener. Asa main terus, Asa keluar malam, Asa main sama Sandhya karena itu kemauan Asa! Ibu tau gak kalau Asa kesepian di rumah? Gak tau kan? Karena yang ada di pikiran Ibu sama Bapak cuma kerja, kerja dan kerja!”

“Nak ... Tapi itu untuk kamu juga.” Nova merendahkan nada bicaranya, karena ia tahu emosi anaknya mulai tidak terkontrol.

“Tapi bukan itu yang Asa mau!”

“Sa ... Maafin Ibu.”

“Asa capek.” ia keluar rumah dan memasuki mobil miliknya. Kebetulan kuncinya masih ada di dalam sakunya setelah ia pakai tadi ke sekolah.

Ia mengeluarkan mobilnya dari bagasi dan langsung pergi dari pekarangan rumahnya.

- TBC -

untuk semestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang