(7)

0 0 0
                                    

Sandhya berhasil sampai di pinggir pantai, ia menyusurinya dengan perlahan. setiap langkah yang ia tempuh, satu per satu kalimat Asa muncul pada benaknya.

Tap.
"Saya kenal kamu karena tahu dari teman saya, dia pernah bilang kalau ada anak 11 IPA 2 yang berhasil membawa nama sekolah ke lomba internasional, dan itu kamu, Sandhya."

Tap.
"Kamu hebat!"

Tap.
"Kamu berhasil membuat saya jatuh. Jatuh hati pada bidadari pengagum senja."

Tap.
"Gak akan ada yang berubah di antara kita, tunggu waktu di mana kita akan duduk berdampingan di pelaminan ya, San."

Tap.
"Jangan terus melihat senja, coba tutup matamu, dan nikmati kehangatannya."

Bruk!

Sandhya tersandung batu cukup besar, membuat kardus yang ia dekap jatuh berantakan bersamaan dengan kedua lutut dan telapak tangannya yang bertemu dengan pasir.

“Hey, kamu gapapa?” Sandhya reflek menoleh ke atas pada sumber suara itu.

Tidak. Nyatanya memang tidak ada.

Itu hanyalah ilusi yang berasal dari rasa rindu. Rindu yang kini terasa pahit. Dan Asa berhasil membuat Sandhya sesak setiap harinya. Lagi-lagi Sandhya menangis sesegukan.

Sejak 4 tahun lalu, Sandhya tak lagi menjadi Sandhya yang semua orang kenal. Kecelakaan lalu lintas itu membuat Sandhya tidak bisa melihat lagi. Melihat keberadaan Asa, dan melihat seisi dunia.

Empat tahun sudah berlalu dari saat pertama kali Sandhya berjalan beriringan dan berbincang banyak hal dengan Asa. Sampai tahun ke empat ini, Sandhya masih terus bertanya pada Tuhan, ‘kenapa harus aku?' ‘kenapa harus kamu?' ‘sebesar itukah keinginan semesta untuk menjauhkan kita?’ pertanyaan-pertanyaan yang entah apa jawabannya.

Sandhya menghapus air matanya gusar, tak peduli siapapun yang melihatnya seperti ini. Sandhya meraba pasir pantai dengan teliti, sambil terus menyampaikan pesan pada semesta.

“Untuk semesta, jika memang sudah memutuskan bahwa ini akhirnya, tolong sekali saja ... Sampaikan rinduku untuknya. Untuk kak Asa yang berada jauh di atas sana, Untuk kak Asa yang tidak akan pernah kembali untuk sekadar menyapa, dan sampaikan bahwa ... Senja tak lagi hangat.” batinnya.

Tangan Sandhya berhenti meraba pasir, lalu bertanya pada dirinya sendiri, ‘apakah pantas ia jujur pada semesta?’ Sementara semesta saja tidak berpihak pada mereka berdua.

“Tidak. Aku tidak rindu pada siapapun. Aku baik-baik saja bahkan tanpa dia. Senja masih hangat seperti awal ia memintaku untuk menikmati kehangatannya.” Dialog semu yang seharusnya tidak ia ucapkan saat ini.
Tangisnya semakin pecah setelah mengatakan itu, seolah dirinya lebih sakit ketika membohongi semesta dan dirinya sendiri.

Ia kembali meraba pasir, dan di depan tak jauh dari posisinya, ia menemukan kertas yang ia yakini bahwa itu sebuah foto dirinya dan Asa. Matanya mengarah pada matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Ia memejamkan matanya, menikmati kehangatan yang sekarang hanya tersisa sesak pada hatinya.

“Walaupun kini aku tidak bisa melihat senja, tapi aku ingin melihatmu dengan senyum yang sama seperti awal kita bertemu. Aku sudah mencoba untuk memahami bagian baik dari perpisahan ini, dan aku paham bahwa dulu kita pernah punya cerita yang sangat menarik untuk dinikmati, tapi tidak untuk selamanya.”

Sandhya bangkit dari posisi duduknya, ia menjatuhkan foto yang selalu membuatnya rindu. Ia berjalan ke arah laut seolah menghampiri senja. Semakin jauh ia melangkah, semakin dalam pula air yang menelannya.

- TBC -

untuk semestaOnde histórias criam vida. Descubra agora